Menjadi sebuah keinginan serta kegembiraan bagi saya bisa mengajak Bapak jalan-jalan. Terutama, setelah Ibu meninggal dunia. Dengan kegemaran yang sama, Bapak dan saya sudah beberapa kali melakukan perjalanan bersama. Dulu, kedua kakak saya pernah sekali menyebut saya dan Bapak sebagai Duo Edan, karena kenekadan kami, yang tiba-tiba saja bermotor ke sana ke mari.
Sebenarnya, kami bukanlah Bapak-anak perempuan yang bisa dibilang akur. Saya sering sekali mendebat Bapak. Ngeyel dan keras kepala kalau sudah berhadapan dengannya. Tapi, begitu kami melakukan perjalanan bersama, Bapak adalah mentor saya. Penguasaan pembacaan peta, rasa keingintahuannya yang besar pada semua hal, sikap agak cuek dan tidak tahu malunya di tempat asing, mengajarkan saya banyak hal.
Maka, ketika akhirnya saya bisa membawa Bapak menginjakkan kaki ke negara manca untuk pertama kali dalam hidupnya, di usianya yang lewat 60 tahun, saya sangat bersyukur. Tak ada kata terlambat untuk melakukan suatu petualangan bukan? Apalagi ini merupakan perjalanan terjauh kami berdua. Jadi, inilah cerita kami berdua di dua negara, Oktober tahun lalu.
Perasaan cemas menghantui saya begitu mendarat di LCCT siang itu. Saya tengah menunggu kedatangan rombongan yang terdiri dari Bapak dan tiga sahabat saya (Akbar, Krisna, dan Yus Mei) dari Yogyakarta. Kami terpaksa menggunakan pesawat yang berbeda karena saya berangkat dari Jakarta. Saya tiba duluan di Malaysia. Sejak membeli tiket setahun sebelumnya, saya sudah berpesan pada Yus Mei; “Titip Bapak saat berhadapan dengan imigrasi di bandara ya,” kata saya. Dengan lembar paspor yang masih bersih dan penguasaan Inggris yang terbatas, saya khawatir apabila tidak didampingi ia akan kesulitan melewati pemeriksaan imigrasi.
Kekhawatiran saya hilang begitu sebuah SMS dari Krisna masuk ke ponsel saya. Mereka sudah siap berjumpa dengan saya, yang berarti urusan imigrasi berjalan lancar. Tak berapa lama kemudian, saya mendapati wajah-wajah yang sudah tidak asing lagi. Di sana, di antara lalu-lalang orang di LCCT, saya melihat senyum sahabat-sahabat saya, dan Bapak. Aaah legaanya…
Kami lantas menuju halte bus yang akan mengantarkan kami menuju Melaka. Lima tiket sudah terbeli, dan sambil menunggu, kami mengganjal perut dengan menu roti+kentang goreng dari McD. Satu hal yang saya hapal dari Bapak, ia tak bisa melewatkan jam makan. Saat makan, pagi-siang-sore, harus dipatuhi. Tak seperti saya yang kerap melanggar jam makan yang membuat saya menderita maag.
Perjalanan ke Melaka menempuh sekitar 2,5 jam. Agak lama, karena biasanya hanya ditempuh 2 jam. Kami tiba di Melaka sekitar pukul 16.30 waktu setempat. Perjalanan ke Melaka terasa spesial karena kami mendapat teman baru. Kami berjumpa sesama WNI di atas bus. Awalnya, kami tahu karena mendengar mereka dengan menggunakan bahasa Jawa. Maka Yus Mei tak segan untuk menyapa terlebih dulu keduanya yang duduk di depan deret kursi kami. Ternyata, kedua pria itu bekerja di Melaka dan baru kembali dari kampung halaman di Kediri.
Kami banyak dibantu keduanya setelah sampai di Melaka. Dari Melaka Sentral, keduanya bahkan ikut mengantar berkeling mencari alamat hostel yang sudah kami pesan di kawasan Stadthuys. Kami pun berpisah setelah hostel pesanan kami ketemu. Sampai sekarang Mas Sam, salah seorang dari keduanya, masih sering mengontak Yus Mei via telepon. <BERSAMBUNG>
Terharu pas selesai liburan bapak SMS ngucapin terima kasih karena sudah ditemani jalan2 ke malaysia dan vietnam…bapak memang jos! :):)
LikeLike
hehehe matur nuwun sudah ikut menemani bapak. daku nulisnya juga sambil agak2 “blawur” menahan haru wahahahaa
LikeLike