“Silakan lewat sini,” begitu ajakan ramah dari penjaga sekaligus pemandu di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani. Dengan bergegas saya menuruti ajakannya dan menuju ke pintu belakang rumah pribadi Ahmad Yani yang sekarang beralih fungsi menjadi museum tersebut.
“Mengapa tidak lewat pintu depan?” tanya saya kepada si pemandu.
Pria asal Magelang itu menjawab dengan tangkas. Pintu depan memang tidak dibuka karena dengan melalui pintu belakang pengunjung bisa napak tilas situasi yang terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965.
Ketika itu, Pasukan Cakrabirawa menyatroni rumah ini. Tujuannya untuk membawa paksa empunya rumah yang menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat. Namun, seperti yang kita ketahui, Ahmad Yani tewas setelah diberondong peluru. Peristiwa itu terjadi di lorong menuju ruang keluarga. Di pintu antara dapur dan kamar mandi hingga kini masih terdapat bekas lubang tembakan tersebut.
Saya pun langsung bergidik mendengar penuturan pemandu. Membayangkan kejadian memilukan dini hari itu. Sebenarnya, saya sudah bergidik sejak pertama masuk ruang belakang. Di situ terpampang foto-foto jenazah para Pahlawan Revolusi sesaat setelah ditemukan dan diangkat dari Lubang Buaya. Meski hitam-putih, sudah cukup membuat merinding.
Saya melanjutkan memasuki rumah, yang meski mungil, terasa sangat nyaman untuk ukuran tahun 1960-an. Tepat ketika kami membuka pintu di mana ada bekas lubang peluru tadi, terdapat semacam peringatan di lantai yang berpagar. Rupanya, persis di situlah Ahmad Yani roboh dan tewas tertembak. Dengan hati-hati saya melewati monumen itu dan bergerak ke arah ruang tamu serta ruang kerja Ahmad Yani.
Di ruang tamu, ada lukisan besar yang menggambarkan peristiwa saat Ahmad Yani menempeleng salah satu anggota Pasukan Cakrabirawa. Ia marah tatkala Pasukan Cakrabirawa bersikap tidak sopan kepadanya.
Di ruang kerja, banyak buku-buku tersusun rapi. Kata pemandu, Ahmad Yani gemar membaca. Namun, beliau tak pernah mau membawa urusan pekerjaan hingga ke rumah, kecuali untuk masalah mendesak.
Di rumah ini, ada tiga kamar tidur. Satu kamar tidur utama dan dua kamar tidur untuk putra-putri Ahmad Yani. Di ketiga kamar ini pengunjung tidak diperbolehkan mengambil foto. Pada kamar tidur utama, kita bisa melihat peninggalan terakhir Ahmad Yani. Diantaranya, berupa gaji yang seharusnya diterima pada 1 Oktober itu. Ada pula rokok kegemaran Ahmad Yani (beliau perokok berat), koleksi pakaian serta sepatu beliau.
Saat mengamati ruangan tersebut, ada yang menggugah rasa ingin tahu saya. Saya langsung bertanya pada pemandu, perihal cat di dinding kamar sebelah atas yang menyerupai petir.
Pemandu lantas bercerita bahwa malam sebelum Ahmad Yani diangkat menjadi Panglima AD, hujan deras turun dan kilat menyambar. Saking kerasnya, petir menyambar hingga membuat tembok di kamar Ahmad Yani tersebut retak.
Saya kembali bertanya untuk apa cat itu? Jawaban pemandu membuat saya tertawa. “Setelah retak, tembok langsung diperbaiki. Namun kejadian ini bisa dibilang luar biasa. Jadi peristiwa ini direkonstruksi dengan menggambar simbol petir ditembok agar kejadian ini bisa diceritakan ke pengunjung. Kalau temboknya mulus, bagaimana kami bisa bercerita soal ini,” paparnya sambil terkekeh.
Pemandu kami memanggil Ahmad Yani, dengan sebutan Bapak. Sebagai anggota AD aktif yang ditugaskan menjaga rumah dinas sekaligus museum ini, ia cukup ramah, tangkas, dan terlihat sangat menghormati Ahmad Yani.
Meski museum ini tergolong sepi pengunjung, ia dibekali kemampuan untuk jadi seorang pemandu yang menyenangkan. “Selain pengunjung lokal, ada pula yang berasal dari Jepang dan Belanda. Itulah mengapa saya juga harus bisa ngomong Inggris,” kata mas pemandu dengan senyum mengembang.
Keluar dari kamar tidur, pemandu meninggalkan dan mempersilakan saya untuk melihat-lihat sambil mengabadikan rumah yang terletak di Jalan Lembang No. 58 D, Menteng, Jakarta ini.
Tak ada pengunjung lain selain saya. Saya bisa leluasa memperhatikan detil ruangan dan perabot-perabot yang seluruhnya masih asli. Bergidik, tapi justru itu pesan yang menyelimuti kejadian yang menjadi catatan merah negara ini.
Btw, ruangan favorit saya jelas di ruang keluarga. Ada sebuah mini bar di sana. Ada pula meja makan dengan lampu serta hiasan-hiasan yang membuat ruangan ini terasa hangat. Saya senang bisa mengunjungi rumah mungil ini.
Bagi saya, ini menjadi salah satu cara asik mengisi libur akhir pekan. Museum yang sering luput dari perhatian ini dibuka setiap hari, kecuali Senin, pukul 08.00-14.00 WIB. Tak dipungut biaya, namun ada donasi yang diberikan kepada pemandu secara sukarela.
Mau dong diajak ke sanaaaa 🙂
LikeLike
yuksss mariiii… dengan senang hati 😀
LikeLike
mba aning….rute mba….deket sama rumahnya AH. Nasution gag? Menteng juga….hohoho… PM yuwa :*
LikeLike