Saya bangun dengan perasaan agak sedih karena hari ini jadwal kami bertolak kembali ke Tarakan. Waktu 3D2N di Kepulauan Derawan selesai hari ini. Bukannya, tak bersyukur, tapi seandainya bisa ikut trip yang 4D3N pasti bakalan lebih puas. Karena hanya berdurasi 3D2N saya tak kebagian jatah ke Pulau Nabucco, yang katanya juga luar biasa indah. Mau bagaimana lagi, waktu saya terbatas.
Saat makan pagi, kami berempat ngobrol dan ketauan kalau flight kami dari Tarakan ke tujuan masing-masing masih sore hari. Itu berarti masih ada beberapa jam free di Tarakan sebelum jadwal flight tersebut. Kami lantas mencoba bernegosiasi dengan Om Ivan untuk mengantar kami berkeliling Tarakan sambil menunggu penerbangan. Saya bilang ke Om Ivan, yah itung-itung obat kecewa saya gagal ke Pulau Sangalaki… Eh, tak taunya ternyata Om Ivan setuju! Yihaaa.
Tak seperti perjalanan berangkat ke Derawan, perjalanan pulang jauh lebih menyenangkan. Ombak bersahabat, bisa ngobrol dengan rekan di samping, plus, tidak kebelet pipis! 😀 Waktu tiga jam di lautan terasa cepat berlalu. Begitu sampai di pelabuhan, kami langsung bertemu Om Ivan yang lantas menyerahkan mobil pada pemandu kami, mas Hendra. So, mulailah kami berkeliling Tarakan.
Tujuan pertama, tak lain tak bukan adalah warung makan. Tiga jam di perjalanan membuat kami kelaparan:) Karena saat itu H+2 Lebaran, masih belum banyak warung makan yang buka. Dan karena kebetulan kami berempat nonmuslim, mas Hendra membawa kami ke sebuah restoran milik warga keturunan yang saat itu buka. Menu di resto itu macam-macam dan menggoda. Tapi akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada yamie jamur dengan irisan daging babi di atasnya. Pilihan tepat. Sungguh nikmat rasanya!
Setelah perut kenyang kami mengunjungi lokasi pertama, yakni kawasan konservasi mangrove dan bekantan, yang letaknya tak jauh dari pusat kota. Di sini kami melihat habitat bekantan, binatang satu keluarga dengan kera dan monyet. Bagi yang penasaran dengan bekantan, itu tuh yang mirip dengan maskot Dunia Fantasi (Dufan) 🙂
Kawasan konservasi seluas 22 Ha ini tak hanya menjadi habitat bekantan. Ada pulahan satwa lain yang bisa dijumpai. Mulai dari kepiting bakau, elang bondol, kadal, biawak, dan berbagai jenis laba-laba. Sekitar satu jam kami mengelilingi kawasan ini. Kami cukup beruntung bisa melihat bekantan, yang memang tak kerap nongol. Meski hanya menyaksikan dari jauh, cukup bisa memuaskan rasa penasaran.
Sekitar satu jam kami berada di sana. Setelah itu mobil bergerak meninggalkan pusat kota menuju ke arah Tempat Pembuangan (sampah) Akhir Tarakan. Eitss ngapain kami ke sana? He he he kami cuma lewat jalur ke TPA itu saja. Tujuan sebenarnya adalah ke rumah adat kerajaan Tidung. Setiba di sana, kondisi objek wisata tersebut sepi. Sayang sekali, karena masih dalam suasana lebaran, komplek rumah adat tersebut tutup. Syukurlah ada penjaga yang tetap memperbolehkan kami masuk dan melihat-lihat bangunan peninggalan kerajaan yang pernah berkuasa di Tarakan ratusan tahun silam.
Ada beberapa bangunan yang berdiri terpisah. Di bagian dalam rumah adat utama terdapat koleksi benda-benda Kerajaan Tidung yang sengaja dipamerkan untuk umum. Karena tutup, kami tak bisa masuk. Yah, kami hanya bisa mengambil foto-foto dari bagian luar. Saat kami berada di sana, di salah satu bangunannya sedang dipergunakan untuk menggelar latihan tari yang diikuti anak-anak. Objek wisata ini memang kerap dipergunakan untuk aktivitas budaya masyarakat sekitar. Jadi tak hanya dimiliki pewaris Kerajaan Tidung saja.
Sambil berkeliling saya menyadari panasnya Tarakan ternyata sama sekali nggak santai! Terasa menggigit dan sakit di kulit, yang membuat lengket di badan. Panas ini sebenarnya sudah saya rasakan begitu turun dari speedboat di pelabuhan. Nah kalo begini, saatnya kami mencari yang segar-segar. Tak lama kemudian kami meninggalkan komplek rumah adat. Mas Hendra selanjutnya memacu mobil menuju pantai terpopuler di Tarakan; Pantai Amal.
Karena saya baru saja dari Kepulauan Derawan yang pantainya luar biasa indah, Pantai Amal jadi terlihat sangat biasa. Tapi kami di sana bukan untuk melihat keindahan pantai, melainkan untuk mencari yang segar-segar tadi, dalam hal ini es kelapa muda, dan tentu saja, kudapan khas Tarakan. Cemilan itu namanya Kapah. Kapah termasuk satu keluarga kerang. Direbus kemudian dinikmati sambil dicocol sambal mentah yang pedas, dengan sedikit rasa asam dan asin. Maknyuss.
Selain menikmati kapah, kami juga menyantap makanan kecil lain, yakni ketela rebus dan pisang goreng. Yang menarik, keduanya disantap dengan sambal. Hmm.. bagi masyarakat Kalimantan, hal itu sudah biasa. Tapi bagi saya, perpaduan ketela rebus-pisang goreng+sambal=something weird… he he he.
Kalau perasaan senang, waktu katanya berlalu begitu cepat. Begitu pula jalan-jalan kami harus segera diakhiri. Kami harus segera ke airport karena flight Bang Andy, Bang Derryl, dan Ria ke Balikpapan pukul 17.00 WITA. Sedangkan saya baru take-off pukul 19.20 WITA. Kami berpisah di beranda bandara. Ketiganya masuk ruang tunggu, dan saya kembali menantikan jatah cek-in, di mana lagi jika bukan di emperan bandara sama sewaktu saya menunggu jemputan tiga hari sebelumnya 🙂
Setelah menunggu beberapa jam, suara panggilan untuk penumpang Lion Air JT 627 pun terdengar. Saya bergegas menuju pesawat. Sesaat sebelum lepas landas, seperti biasa saya berdoa. Tak hanya memohon agar diberi keselamatan sampai tempat tujuan, juga bersyukur karena Allah sudah memberi saya kesempatan menikmati ciptaanNya yang teramat indah di Kepulauan Derawan. Sehabis itu, saya pun tidur. Jakarta, I’m coming back to you… ZzzzZzZ..
sayang sekali blm ke air terjun tarakan.hihihi. salam kenal mbak.
LikeLike
salam kenal balik yaaaa…
hehehe iya ngga sampai sana-sana. lha waktunya terbatas. emang di mana air terjunnya, jauh dari kota-nya kah?
LikeLike