Dari Kakaban ke Sangalaki memakan waktu sekitar 35 menit. Sesuai info yang saya peroleh lewat gugling atau dari cerita kakak yang baru saja dari Kepulauan Derawan, saya berharap banyak pada pulau yang terkenal dengan ikan Pari Manta-nya ini. Dari kejauhan, Sangalaki sudah terlihat indah. Pasir putih dengan crystal clear water.
Di satu spot yang kami lewati, nampak beberapa speedboat lain berhenti. Dari motoris, saya tahu mereka tengah snorkeling dan atau diving untuk ‘mengadu nasib’ melihat Manta. Nah cocok! Tapi, loh, lho,.. kok speedboat kami tak ikutan berhenti, justru terus melaju menuju pantai?! Hmm.. okelah, tak apa. Pantai pasti bisa mengobati kekecewaan kalau memang tak mampir di ‘spot manta’ tadi.
Namun, belum sampai pantai motoris justru ribut sendiri. Katanya air masih tergolong surut dan dia tak berani membawa speedboat ke tepian. Itu berarti, kami tak bisa mendarat. Damned! Saya mulai jengkel. Dia lantas menawarkan membawa kami kembali ke spot melihat Manta tadi. Tawaran yang pastinya saya iyakan. Eh, ternyata, mayoritas rombongan lain tak setuju. Mereka memilih langsung kembali ke Derawan. Dobel bete deh!! Saya sempat bertanya kenapa mereka begitu, kata salah satunya; karena kami sudah beberapa kali ke Sangalaki. Ya itu situ. Nah, saya?? Jauh-jauh dari Jakarta gitu.
Terpaksa saya memendam jengkel. Tapi sekali lagi, ya sudahlah daripada merusak mood, saya yang rugi sendiri tak bisa menikmati trip. Risiko ikut TO memang seperti ini. Tak bisa seperti kehendak dan semau kita kalau jalan bareng teman-teman sendiri. Dalam perjalanan pulang ke Derawan, kami sempat melewati lautan dangkal nan jernih hingga terumbu karang di bawahnya kelihatan. Sekali lagi, speedboat hanya berlalu begitu saja.
Sampai di Derawan, Ria, Bang Andy, dan Bang Derryl memutuskan snorkeling. Saya tentu saja ikut. Nah, kali ini pengalaman mengerikan terjadi. Jadi ceritanya, Ria dan Bang Andy sudah duluan snorkeling, saya menyusul sendirian. Ketika berusaha mengejar mereka, napas berasa habis. Ha ha ha rasain, gara-gara jarang olah raga! Arus sore itu memang lumayan kencang. Saya seperti tak kuasa melawan arus.
Saya pun memutuskan kembali. Wah, tapi tenaga bener-bener sudah habis. Saya cuma bisa pasrah (plus mulai panik karena takut) sambil berharap ada yang liat saya kepayahan dan ditolong. Toh seburuk-buruknya, saya paling terseret arus dan tidak tenggelam selama pelampung yang saya kenakan masih berfungsi baik. Dalam hati saya berdoa agar bisa menepi, dan Tuhan mendengar doa saya. Entah tenaga dari mana, tau-tau saya sudah sampai di pinggiran dan langsung meraih kayu yang jadi sandaran speedboat di dermaga. Selamaaat!!
Kapok?! Jelas tidak he he he. Sampai di atas saya liat Bang Andy dan Ria sudah jauh. Baiklah, saya susul mereka. Tapi, saya nyusulnya dengan jalan kaki melalui jembatan di atas mereka ha ha ha. Nah saat sedang jalan, saya liat penyu besar mendekati mereka. Langsung saya berteriak-teriak memanggil keduanya. Pas saya kasih tau, dengan santainya keduanya bilang, “Iya tadi udah ketemu. Ada dua malahan.” Jiaaaahh.. Ya sudah deh, daripada kecewa mending ikutan nyebur lagi aja. Spot di sebelah sini ternyata lumayan oke.
Puas snorkeling kami pulang ke penginapan dengan menyusuri pantai alias tidak melewati perkampungan. Sore itu selain hampir mati, rupanya jadi hari kebruntungan saya. Gagal liat penyu di air, kami liat ada penyu besar hendak menepi. Sore itu penduduk banyak yang beraktivitas di pantai. Melihat ada penyu besar itu mereka ramai-ramai menariknya ke tepian. Benar-benar penyu besar! Karena sudah di depan mata, kami pun tak sanggup untuk tidak berfoto dengan binatang yang memang kerap ditemui di Derawan ini. Saat saya amati dari dekat, ada semacam label pengenal di bagian tubuh si penyu. Oooh berarti penyu ini sudah terdekti oleh lembaga konservasi. Baguslah. Tak berapa lama kemudian penyu dikembalikan ke laut sambil dinaiki satu-dua anak. Duh!
Sampai di penginapan, ketiga teman rombongan memilih ngobrol, sementara saya langsung menuju perkampungan. Saya ada janji dengan pengemudi becak motor (bentor) untuk mengelilingi perkampungan penduduk di pulau Derawan yang saya kontak melalui telepon. Sebenarnya, kalau maksa jalan kaki pun bisa. Tapi karena sendirian, dan hari sudah sore, saya pilih naik moda yang satu itu. Ternyata, pengemudinya wanita, namanya Mbak Siti. Dia lahir dan besar di Derawan.
Kami berhenti di beberapa lokasi bersejarah, seperti pemakaman tua. Di sana, ada makam yang diyakini merupakan penghuni pertama Derawan. Pada makam orang itu, berdiri sebuah patung kuda. Konon, dia sampai di Derawan karena lari dari kejaran musuh dari Filipina. Entah sejauh mana kebenaran cerita ini… Kemudian kami juga berhenti di sebuah sumur tua. Lagi-lagi, sumur tersebut dipercaya merupakan sumur air tawar pertama di Derawan. Ada legenda, dalam sumur tersebut bersemayam buaya putih. Iiiih ngeri. Daripada ngeri, mending foto-foto aja he he he.
Untuk jasanya, saya membayar Mbak Siti Rp 25 ribu. Sesudah itu saya mandi dan bergabung dengan yang lain. Agenda malam itu, sekadar jalan-jalan cari minuman segar dan membeli oleh-oleh. Seperti biasa, saya hanya ikut meramaikan saja alias tak beli apa-apa :p Oke, hari kedua di Derawan berakhir sudah. Hari yang luar biasa. Komplet. Girang, jengkel, dan berasa hampir mati. Kepulauan Derawan memang memberikan segalanya!! 😀
NOTE TO MYSELF!
-Kalau jalan sendiri dan terpaksa gabung dengan TO, kudu ramah sama teman rombongan. Jangan kebanyakan diem atau malah asik sendiri. Jangan lupa juga yang akrab sama crew (motoris-guide) untuk mengulik info yang lebih dalam soal daerah yang dikunjungi.
-Jangan memaksakan diri untuk beraktivitas jika memang kondisi badan nggak fit. Seantusias apapun kita, jangan nekat snorkeling, misalnya, kalau memang cuaca-kondisi arus-kondisi badan sedang tak memungkinkan. Jaga kesehatan, jaga nyawa itu jauh lebih penting!