Satu pekan terakhir, pikiran saya cukup tersita ke Timnas Indonesia U-16. Tepatnya sejak timnas berjulukan Garuda Asia ini tampil di Piala AFC U-16 2018 di Malaysia.
Sejak sekitar 1,5 bulan lalu, saya memutuskan untuk nonton langsung adek-adek Timnas U-16 ini bermain. Nonton, bukan kerja alias liputan. Buat saya, keikutsertaan adek-adek jadi satu dari 16 peserta putaran final Piala AFC (ada yang menyebut Piala Asia), sangat istimewa dan perlu saya tonton secara langsung.
Seandainya lolos ke semifinal, mereka bisa tampil di Piala Dunia. Piala Dunia, bukan Piala AFF yang levelnya Asia Tenggara, atau AFC yang levelnya Asia. Tetapi, Piala Dunia. Meski, U-17. Buat saya, jadi prestasi besar seandainya adek-adek ini mampu lolos dari perempat final di Piala AFC U-16 2018.
“Cuma” butuh dua langkah besar saja untuk bisa mencatatkan sejarah, bermain di pentas Piala Dunia. Yakni, lolos dari penyisihan grup (tiga pertandingan dan sudah dilewati) dan memenangi perempat final (satu pertandingan).
Enggak usah mikir jadi juara. Buat saya, cukup lolos ke semifinal saja, dan sepak bola Indonesia yang miskin prestasi setidaknya selama dua dekade terakhir, bisa terhibur dan kembali memiliki harapan di masa mendatang.
Namun, kemudian di sinilah letak “persoalannya”. Di saat saya bermimpi adek-adek ini bisa bermain di Piala Dunia tahun depan di level U-17, seketika itu pula saya seperti “diingatkan”. Oleh siapa? ya oleh kenyataan.
Bukan, bukan saya meremehkan adek-adek ini bakal gagal menembus Piala Dunia. Tapi, lebih pada persoalan apakah adek-adek yang sekarang berusia 16 tahun ini layak untuk dibebani harapan setinggi itu.
Bagi yang memahami seluk belum pembinaan sepak bola, tentu tahu usia 16 tahun masih masuk kategori usia dini. Di Inggris saja, panduan pembinaan usia dini terbagi dalam tiga tahapan, usia 8-11 tahun, 12-16 tahun, dan 17-21 tahun.
Hal tak jauh beda juga tercakup dalam Filosofi Sepak bola Indonesia (Filanesia), semacam dasar atau arahan pembinaan sepak bola Indonesia sejak dini yang diterbitkan PSSI pada tahun lalu.
Lantaran masih masuk pembinaan usia dini, adek-adek di Timnas Indonesia U-16 saat ini, ya sebut saja Bagus Kahfi dan teman-temannya, sebaiknya tak dibebani asa menang atau bahkan jadi juara.
Lantaran masih berstatus pemain usia dini, kemenangan dalam satu pertandingan hingga raihan gelar juara bukan hal terpenting. Pada masa-masa inilah mereka ditempa dan diasah untuk jadi pesepak bola profesional yang punya kemampuan menyeluruh baik fisik, teknik, mental terbaik. Bukan bicara prestasi atau berlomba jadi juara.
Ujungnya, mereka diharapkan mampu jadi generasi pemain yang tangguh, masuk ke timnas senior, dan mengantar timnas berprestasi setinggi mungkin. Bukan “dipaksa” jadi juara di saat masih kategori usia dini, jika hal itu justru berisiko bagi karier mereka di kemudian hari.
Beberapa orang di sekitar saya ada yang bilang, sekali pun di Eropa, tak ada loh yang mengelu-elukan timnas kelompok usia sampai sebegini-nya (baca seperti di Indonesia). Di sana (di luar Indonesia), yang jadi perhatian ya timnas senior, bukan kelompok usia. Ada yang bilang, jadi juara di level timnas kelompok usia, tak serta merta membuat negara itu dianggap hebat.Hal beda terlihat di Indonesia. Dalam pengamatan saya (bisa benar bisa salah), menjadikan timnas kelompok usia sebagai sasaran pencarian euforia mulai muncul sejak era Evan Dimas menjuarai Piala AFF U-19 2013.
Setelah itu, mau timnas U-19, U-23, dan belakangan U-16, pencinta sepak bola Indonesia seolah tak peduli. Semuanya diberikan dukungan dan perhatian dengan porsi seperti timnas senior.
Mau bukti? Yang terbaru, tentu di Sidoarjo belum lama ini. Penyelenggaraan Piala AFF U-19 2018 dan Piala AFF U-16 2018 bisa dibilang sukses berat jika mengacu pada jumlah penonton. Saat Timnas Indonesia U-19 dan U-16 main, Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, penuh. Tiket pertandingan bahkan sold out hanya beberapa jam setelah penjualan dibuka.
Coba tanyakan saja pada AFF atau AFC, di negara mana yang antusiasme penonton untuk event kelompok usia, melebihi atau sekadar menyamai Indonesia. Saya pikir, mereka pasti kesulitan menjawabnya.
Hal itu pula yang terjadi saat ini. Panpel Piala AFC U-16 2018 bisa jadi girang sekaligus tak menyangka, laga-laga yang melibatkan Timnas Indonesia bisa mendatangkan lebih dari 10 ribu penonton.
Mengacu pada data, hanya laga pertama saja (melawan Iran, 21 September 2018) yang ditonton kurang dari 4.000 orang. Dua laga lain, menghadapi Vietnam dan India, penonton yang hadir menembus 11 ribu orang.
Jumlah itu hampir 99,8 persen datang dari pendukung Tim Merah-Putih. Bahkan panpel terpaksa mengubah venue duel Indonesia vs India (27/9/2018) dari semula di Stadion UM Arena yang kapasitasnya hanya berkisar 1.000 penonton, ke Stadion Nasional Bukit Jalil.
Pendukung Timnas Indonesia seolah lupa, yang mereka tonton dan dukung itu adalah adek-adek mereka atau mungkin seumuran anak-anak mereka, bukan timnas senior.
Buat mereka, semua level timnas layak didukung dengan antusiasme sama. Apalagi, momen bermain di Piala Dunia ada di depan mata. Meski, ya itu tadi, U-17.
Lantas, apakah puluhan ribu pendukung Timnas Indonesia itu keliru? Salahkan mereka berharap adek-adek ini bisa menuntaskan dahaga prestasi sepak bola Indonesia?
Saya bisa memahami perasaan mereka. Bertahun-tahun mendukung dengan setia, gelar juara prestisius di level internasional (sekadar level ASEAN saja) untuk timnas senior tak kunjung hadir. Alhasil, mereka menjadikan timnas kelompok usia sebagai pelampiasan untuk menghilangkan kerinduan akan gelar juara.
Terlihat kelewat berlebihan karena setelah kemenangan sensasional 2-0 melawan Iran di penyisihan Grup C, kalangan suporter tak hanya menyanjung, tapi juga melancarkan kritik kepada pemain Timnas Indonesia U-16 melalui media sosial.
Gambarannya bisa dilihat dari saya sendiri. Hampir 15 tahun bersentuhan dengan sepak bola Indonesia, patah hati mungkin lebih sering saya rasakan ketimbang euforia. Lihat saja catatan timnas senior di Piala AFF. Sebaliknya, saya seperti lebih sering menulis keberhasilan timnas negara lain.
Sekadar berbagi, buat saya, ada dua “tema” yang nyesek buat saya tulis, yakni kematian suporter Indonesia dan kesuksesan sepak bola negara lain. Setiap menulis hal terakhir (euforia negara lain), dalam hati saya hanya bisa mbatin: kapan giliran saya nulis kesuksesan timnas sendiri?.
Lantas, salahkah saya, juga sedikit berharap melihat timnas bisa bermain di Piala Dunia? Kendati, ya U-17…Sejujurnya, kali ini saya hanya bisa minta maaf. Hari ini, Senin (1/10/2018), sejarah baru bisa jadi tercipta. Timnas Indonesia U-16 mungkin bisa memberikan secuil kegembiraan di tengah duka masyarakat di Tanah Air menyusul bencana gempa dan tsunami yang menimpa saudara-saudara kita di Palu dan Donggala, dengan mengalahkan Australia dan merebut satu dari empat jatah tiket bermain di Piala Dunia U-17 tahun depan di Peru.
Sejarah itu hanya berjarak 90 menit saja. Plus, beberapa menit lagi jika harus ditentukan lewat adu penalti. Sudah sebegitu dekatnya.
Sekali lagi, saya minta maaf kalau kali ini saya berharap Tim Garuda Asia bisa menekuk Australia. Tapi, saya juga punya harapan lain.
Adek-adek di Timnas Indonesia U-16 tersayang, jangan anggap dukungan kami sebagai beban. Mainlah melawan Australia dengan lepas, jangan gugup. Kalian yang terbaik. Ingat, kalian sudah memenangi Tien Phong Plastic Tournament, Jenesys Japan-ASEAN, dan Piala AFF 2018. Semua itu membuat saya bangga.
Percaya diri, jadi diri sendiri. Dengarkan instruksi coach Fakhri Husaini, bukan netijen yang mahatau. Tuhan memberkati perjuangan kalian hari ini.
Kalau pun hari ini kalian kalah dari Australia, jangan kuatir adek-adek, aku tetep ning mburimu… Saya yakin banyak pengalaman sudah kalian petik. Juga, masa depan kalian, semoga, masih panjang dan cerah. Masih bisa bermain di level U-17, U-21, U-23, dan akhirnya di timnas senior.
Butuh beberapa tahun lagi, tapi seperti yang sudah-sudah, saya dan pendukung timnas akan selalu setia menanti kalian jadi pemain profesional dan terbang tinggi membawa Tim Garuda di pentas dunia.