Saya bersyukur punya kesempatan menonton konser Coldplay yang bertajuk A Head Full of Dreams Tour sebanyak dua kali, di Sydney dan Tokyo. Pertama, pada 14 Desember 2016 di Allianz Stadium (Sydney) dan kedua, 19 April 2017 di Tokyo Dome (Tokyo).
Saya sebenarnya tak punya impian bisa ketemu Chris Martin and the gank hingga dua kali, bahkan dalam waktu lumayan dekat. Cuma, mungkin karena semesta bekerja sama, akhirnya kesempatan itu terbuka.
Kini setelah setahun lebih berlalu, saya baru bisa mereview dua konser itu. Sama tapi beda. Begitu kesimpulan saya.
Saya akan cerita soal perbedaannya dulu. Ada dua perbedaan mencolok terkait dua konser itu. Pada konser yang pertama, saya berangkat dengan bantuan jasa Kartu Pos Trip alias sudah ada yang mengatur. Pada konser kedua, saya jalan sendiri. Konser pertama digelar secara outdoor sedangkan konser kedua, indoor.
Mana yang lebih menyenangkan?
Saat kali pertama mengetahui Coldplay akan konser di Australia, saya langsung tak keruan. “Impian jadi kenyataan,” kata saya dalam hati. Ya, bisa menyaksikan Coldplay konser, jadi satu di antara hal yang pingin saya lakoni. Saat itu saya tak mengira kalau mereka juga akan menggelar tur di Asia.
Dengan pemahaman itu, saya tak ingin kelewatan dan merasa Australia terbilang jarak yang “masuk akal” ketimbang saya harus ke Eropa atau bahkan Amerika untuk bisa menonton konser band satu ini.
Saya lalu mendaftar Kartu Pos Trip. Semua sudah all in (tiket konser, akomodasi, transport), saya tinggal menyiapkan visa dan tentu saja uang saku. Puji Tuhan, setelah deg-degan perkara visa, saya akhirnya berhasil ke Sydney.
Sebelum berangkat, saya kontak-kontakan dengan satu di antara calon penonton, yang juga dari Jakarta. Mba satu ini juga datang sendirian seperti saya sehingga kami janjian saling menunggu di Kingsford Smith Airport. Dia adalah teman pertama saya, namanya Mba Ralin. Teman baru kedua, sebenarnya, karena jauh sebelum kenal Mba Ralin, saya sudah dikenalkan dengan WNI yang tinggal di Sydney. Dia adalah Aziz, pemuda yang tekun bekerja dan kuliah 🙂
Ikut Kartu Pos Trip buat saya cukup menyenangkan. Saya bisa mendapat teman baru. Mas Kenny, membuatkan anggota trip, grup Whatsapp, sehingga kami bisa saling berbagi informasi.
Setiba di hostel di Sydney, saya kembali dapat teman, namanya Ajeng. Dia juga datang sendiri dan sesama anggota tur Kartu Pos Trip. Jadilah kami bertiga kompakan menuju Allianz Stadium ramai-ramai. Kejadian tak terduga terjadi. Kami berjumpa WNI lagi di lift hostel. Dia mendengar kami bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia dan menyapa kami dalam bahasa ibu. Bapak satu ini lebih suka dipanggil Mas Koko 🙂
Mas Koko, WNI yang sudah menetap sekian lama di Canberra, juga ke Sydney demi Coldplay. Alhasil, rombongan menuju lokasi konser bertambah. Hingga saat ini, kami berlima masih tetap berhubungan dengan baik. Saya berterima kasih buat Coldplay untuk ini 🙂
Selanjutnya, namanya mimpi jadi kenyataan, saya deg-degan menunggu detik-detik konser dimulai. Suasana di luar stadion ramai, tapi tertib. Antrean mengular tapi tak ada yang heboh saling dorong. Semua santai dan tetap tenang, sampai-sampai tak terasa seperti “sebentar lagi ada konser Coldplay”. Kami hanya mengobrol ringan satu sama lain. Kebetulan, saya dan Mas Koko membeli kelas tiket yang sama, hanya beda section saja.
Begitu pintu dibuka, kami masuk tanpa ribet atau saling mendahului karena penjaga tinggal men-scan barcode di tiket kami. Masing-masing dari kami juga sudah dipastikan menempati seat seperti yang tertera di tiket. Saya hanya membawa kertas print tiket dari Mas Kenny. Sangat simpel.
Hal jauh berbeda saya alami di Tokyo. Kami diharuskan menukarkan tiket via email menjadi tiket fisik, pada hari konser. Buat saya, hal ini sudah aneh karena tidak praktis, mengacu pada pengalaman konser di Sydney.
Khawatir kenapa-kenapa, saya memutuskan datang lebih dini ke Tokyo Dome. Perkiraan saya tepat karena, olala, antrean sudah sangat mengular. Hal itu dikarenakan loket yang melayani penukaran hanya dua biji saja. Bisa dibayangkan, ribuan penonton datang untuk menukarkan tiket di waktu hampir bersamaan dengan hanya dua loket.
Setelah mengantre beberapa jam, saya mendapatkan tiket fisik itu. Saat masuk, tiket itu di-scan dan tas diperiksa lumayan detail. Rupanya, sistem yang diterapkan EO ini berdampak buruk. Banyak penonton yang sampai telat masuk ke konser karena tertahan dalam antrean penukaran tiket. Hal ini baru saya ketahui setelah kembali ke Jakarta.
Tak lama setelah konser di Tokyo Dome, saya mendapatkan email berupa permohonan maaf dari EO atas ketidaknyamanan dalam penyelenggaraan konser. Rupanya, insiden telat masuk itu jadi sorotan. Dan “kegagalan” menggelar konser yang membuat penonton nyaman, adalah aib bagi penyelenggara.Sebagai kompensasi hal itu, mereka menawarkan memberikan semacam merchandise. Saya kurang tahu apakah hal ini dilakukan kepada seluruh penonton malam itu atau tidak, mengingat saya tak terdampak (bisa masuk arena beberapa saat sebelum konser mulai), namun tetap mendapat email pemberitahuan adanya kompensasi. Belum lagi, penonton yang datang malam itu tak hanya berasal dari Jepang semata melainkan banyak dari negara lain, seperti saya.
Saya sempat berpikir, berapa “kerugian” yang harus ditanggung sebagai akibat kesalahan dalam sistem yang mereka terapkan? Jika harga merchandise itu sekitar Rp100 ribu saja, berapa ratus juta harus dikeluarkan sebagai kompensasi? Nyatanya, dalam durasi sekitar tiga pekan, saya benar-benar mendapatkan merchandise yang dijanjikan itu, dikirim langsung ke alamat saya di Jakarta.
Ada satu set pensil warna bergambar logo A Head Full of Dreams dan satu tote, juga dengan gambar sama. Satu di antara teman saya, juga mendapat paket barang yang sama, hanya barang itu datang lebih lama karena dia tinggal di Sulawesi.
Singkat cerita, setelah saya menyaksikan konser di Tokyo, saya bisa menilai beberapa hal. Selain persoalan tiket, sound konser di Sydney lebih enak didengar. Mungkin karena outdoor sehingga terdengar “bersih”. Beda dengan di Tokyo, yang indoor, sehingga di telinga saya kok seperti tak terlalu lantang.
Saat bagian kembang api dinyalakan, di Allianz Stadium praktis lebih heboh karena outdoor sementara konser di Tokyo Dome tanpa atraksi fireworks karena digelar dalam ruangan.
Untuk kedua konser itu, saya membeli tiket di kelas yang hampir sama. Di Sydney saya beli kelas Platinum, samping panggung agak ke sini dikit hehe. Di Tokyo juga kurang lebih sama, yakni SS Reserve seat. Jadi, pandangan mata saya ke mereka terbilang tak jauh. Apalagi saat mereka pindah ke stage B. Saya memang sengaja tidak beli tiket di depan panggung karena satu dan lain hal (lebih ke faktor U).Soal tingkah penonton selama konser, saya merasa di Sydney lebih sreg. Teriakan, sorakan, tepukan tangan, aksi dancing, hingga koor yang dberikan penonton lebih heboh dan asyik ketimbang di Tokyo yang terasa lebih “dingin”. Di Sydney terkesan lebih “hidup”.
Saya juga senang saat di Sydney, transport menuju dan dari Allianz Stadium bebas bayar. Sebenarnya tetap harus membayar. Tapi, karena penumpang waktu itu terlalu banyak dan turis seperti kami datang-pergi, akhirnya sang driver meminta kami langsung naik/turun tanpa men-tap kartu. Sedangkan di Tokyo, saya tinggal jalan kaki saya karena saya memilih penginapan yang dekat Tokyo Dome.
Nah, sekarang persamaannya. Dari konser yang disuguhkan Coldplay, seingat saya setlist-nya hampir sama. Prosesi di A Stage, B, C Stage juga sama. Termasuk hiasan balon-balon dan confetti yang mewarnai konser. Bahkan bajunya Coldplay-nya juga sama… (penasaran mereka punya berapa puluh stok kaus yang sama itu ya?)
Persamaannya lainnya: dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, kedua konser sama-sama asyik. Jelas saja, saya bisa nonton konser Coldplay yang sudah saya nantikan sekian lama, dan bahkan hingga dua kali di dua lokasi berbeda. Call it magic, call it true.. I call it magic when I’m with you…