Penglihatan saya berkunang-kunang melihat peta kereta api di Tokyo. Peta itu berwarni-warni, tetapi tak membuat saya jadi ceria melihatnya. Justru pusing karena setiap warna itu mewakili setiap jalur kereta dan subway yang ada di Tokyo.
Sebagai catatan, meski sama-sama kereta, ada beberapa jenis kereta yang beroperasi di Tokyo. Ada kereta api listrik, kereta bawah tanah (subway), dan Tokyo monorail.
Setiap jalur ditandai dengan warna dan simbol berbeda, memiliki arti tersendiri. Semisal jalur warna merah untuk rute A ke C, kuning dari B ke D, ungu dari A ke B, begitu seterusnya sampai pusing mencermatinya. Semua jalur itu terkoneksi.
Train dan subway di Tokyo dioperasikan perusahaan kereta yang berbeda. Ada yang dioperasikan pemerintah (Japan Railway), ada pula yang dioperasikan pihak swasta. Belum cukup, jenis kereta dan subway pun beda-beda. Ada yang ekspres, semiekspress, dan limited ekspres.
Saya harus memeloti untuk mempelajari jalur-jalur itu karena saya berencana ke Tokyo tanpa tur alias jalan sendiri. Risikonya, saya yang sama sekali tak bisa Bahasa Jepang, harus tahu dulu sistem transportasi di Tokyo yang dibilang super rumit itu.
Saya memilih naik transportasi publik kereta yang jadi kebanggaan warga Jepang. Jenis transportasi lain, seperti taksi, saya tinggalkan jauh-jauh karena sudah tak masuk hitungan lantaran kemahalan. Bahkan orang lokal mungkin naik taksi bila terpaksa karena kereta api memang transportasi utama di Tokyo.
Selain itu, konon buat wisawatan mandiri alias tanpa tur seperti saya, berkereta di Tokyo bisa jadi sensasi dan cerita sendiri. Ya, seperti yang akhirnya saya tulis ini…
Singkat cerita, sudah beberapa hari saya mencermati peta jalur kereta di Tokyo itu. Namun, selama itu pula bukannya jadi paham, yang ada saya semakin gelisah karena otak yang sudah lama nggak buat mikir ini, susah mencerna jalur warna-warni itu.
Hal itu karena tak hanya jalur penuh warna itu yang harus saya pelajari. Bersamaan dengan itu, ada beberapa jenis kartu prabayar sebagai ongkos tiket (IC Card) yang harus dipilih. Ada Pasmo, Suica, dan buat wisatawan ada free pass (bisa one, three days pass, dan banyak lagi). Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Yang jelas, saya memutuskan untuk punya IC Card karena bagaimana pun lebih hemat ketimbang beli tiket per perjalanan. Dari segi kepraktisan, juga lebih praktis karena tak perlu tiap kali menuju mesin pembelian tiket yang terkadang membingungkan.
Saya sempat uring-uringan sendiri. Tetapi, akhirnya saya mendapat nasihat dari teman. Nasihat yang penuh risiko. Teman saya ini bilang untuk tak usah lagi pusing memikirkan tetek-bengek kereta di Tokyo.
“Tutup saja petanya. Nggak usah dipikirin. Nanti sampai di sana pasti pasti bisa menyesuaikan sendiri. Tanya dengan siapa saja kalau bingung mau ke mana,” begitu katanya.
Nasihat yang berisiko, tapi saya pertimbangkan juga. Akhirnya dari rajin memelototi peta yang super ruwet, saya memantapkan hati untuk cuek bebek, tak mau lagi ambil pusing.
Hasilnya, saya mampu menaklukkan sistem kereta api di hutan beton Tokyo yang sempat membuat jeri itu. Selain masukan dari teman saya itu, ada beberapa hal lain yang mungkin bermanfaat bagi siapa pun yang hendak bertualang di Tokyo menggunakan kereta untuk pertama kali.
Jadi, inilah beberapa tipsnya. Hmmm sebenarnya, tidak layak juga disebut sebagai tips karena saya bukan ahli. Mungkin lebih tepatnya merupakan kesimpulan dari apa yang saya alami dan saya sekadar berbagi. Mungkin ada yang merasakan seperti apa yang saya rasakan.
Peringatan saya, tulisan ini hanya cocok buat first timer yang tegang, grogi, atau kepikiran bagaimana cara menjelajahi Tokyo dengan kereta. Yang sudah beberapa kali ke sana, tolong diabaikan saja.
1. Lihat sekilas saja peta kereta api di Tokyo
Kalau kelamaan, bisa bisa jeri.
2. Langsung download aplikasi Japan Travel
Aplikasi ini jadi andalan saya. Masuk bagian “route”, ketik stasiun asal dan tujuan. Akan muncul informasi kereta apa yang harus dinaiki, platform berapa, lama perjalanan, harga tiket. Sangat membantu karena data yang disajikan akurat. Enggak pakai bohong atau PHP, terutama untuk jadwal keberangkatan.
3. Koneksi wifi
Adanya koneksi internet membuat kita lebih tenang karena kalau ada apa-apa, tinggal gugling saja atau buka Japan Travel. Untuk koneksi internet, saya menyewa router di Bandara Narita, yang sudah saya pesan sebelumnya via online dari Jakarta. Tinggal ambil dan kembalikan sesuai durasi waktu pemesanan. Jangan lupa bayar.
4. Bertanya
Andalan terakhir di saat teknologi sudah buntu. Bertanya. Malas bertanya tak sampai tujuan. Untung saja meski Tokyo sangat gemerlap, warga di sana masih mau meluangkan waktu menjawab pertanyaan saya seputar arah atau jadwal kereta. Tanya saja petugas atau orang yang berpapasan. Meski kadang penguasaan Bahasa Inggris mereka terbatas, mereka dengan senang hati membantu kita.
Selamat berkereta di Tokyo!