Pada Oktober 2011 sahabat saya, Yus Mei, mengunjungi Monumen Nol Kilometer Indonesia di Sabang, Pulau Weh. Pada Februari 2012 ia menuliskan pengalamannya dalam blognya di sini.
Berikut petikan tulisan sahabat saya tersebut: “Rasanya lega menapakkan kaki di tugu ini. Tapi sebersit kekecewaan menyergap ketika saya mengedarkan pandang ke sekeliling. Tugu ini terlihat begitu merana dan terabaikan. Lantainya kotor, sedangkan di dindingnya banyak dijumpai coretan-coretan tangan yang tidak bertanggung jawab.”
Dua tahun setelah kunjungan sahabat wanita saya itu, giliran saya menyambangi Monumen Nol Kilometer, tepatnya pada Mei 2013. Secara fisik bangunan monumen berbentuk silinder dengan tinggi sekitar 22 meter dan tinggi 15 meter itu belum berubah. Masih berdiri kokoh. Syukurlah.
Sayang, ada bagian lain yang belum berubah yang cukup mengganggu. Apa yang ditulis rekan saya perihal lingkungan kotor di sekeliling monumen dan juga coretan, masih nampak.
Saya tiba di Monumen Nol Kilometer pada pagi hari dari Iboih yang berjarak sekitar 5 kilometer dari sana. Ada beberapa wisatawan domestik dan manca negara sewaktu kami tiba di Tugu Nol Kilometer yang terletak di areal hutan wisata di Desa Iboih Ujong Ba’u, Sukakarya. Kami lantas naik ke lantai atas untuk melihat keberadaan dua prasasti.
Di prasasti pertama tercantum penetapan posisi KM 0 Indonesia yang diukur menggunakan GPS. Pada prasasti kedua tercantum posisi geografis tempat ini. Sambil memotret, pandangan saya tertuju pada aksi vandalisme yang dilakukan di prasasti pertama.
Di situ ada semacam goresan-goretan tanda tangan atau nama. Goresan itu cukup kentara dilihat dari hasil foto yang kami ambil. Dalam hati saya mengutuki pelaku vandalisme itu. Entah saking kreatif atau begonya, sampai kepikiran menggores prasasti yang hanya ada satu di Indonesia itu.
Setelah pulang kembali ke Jakarta saya berbincang dengan Yus Mei untuk menanyakan perihal goresan itu. Ternyata, guratan itu juga sudah ada sewaktu kunjungannya dua tahun silam. Saya jelas tidak akan mengajak menduga-duga kapan kira-kira guratan itu dibuat. Yang ada di benak saya, lebih pada mengapa tidak ada usaha untuk mengembalikan prasasti seperti kondisi awal.
Belum lagi kondisi kotor di sekeliling prastasi cukup terlihat. Tidak hanya di bagian atas. Di lantai dasar kondisi serupa juga terlihat. Parahnya waktu itu saya bahkan melewatkan di mana letak pusat titik nol berada. Tidak ada informasi apapun yang menujukkan bahwa di situlah titik nol Indonesia berada. Ya, di lantai dasar itu. Saking kotor dan tidak terawatnya, sampai hal penting seperti itu terabaikan begitu saja.
Sewaktu saya menulis cerita ini, saya gugling dan mendapati keluhan Monumen Nol Kilometer yang terabaikan, tidak terawat, kotor, dan sejenisnya, mendominasi tulisan di dunia maya. Jadi, bukan hanya Yus Mei dan saya saja yang merasakan hal tersebut. Saya sempat berpikir positif, dengan lingkungan sekitar yang merupakan hutan, bisa jadi petugas kebersihan kesulitan melaksanakan tugasnya menjaga monumen ini tetap bersih setiap saat.
Well, apapun itu, sudah waktunya kondisi di Monumen Nol Kilometer mendapatkan perhatian ekstra dari pihak terkait. Sebagai destinasi wajib kunjung bagi wisawatan, siapa pun pengelola tugu ini harus berbenah. Jangan bikin malu karena monumen ini merupakan simbolisasi gerbang masuk menuju NKRI. Lagipula, hanya ada dua tugu semacam itu di Indonesia. Di Sabang dan di Merauke. Saatnya kesan terabaikan yang sangat kentara begitu kita menyambangi Monumen Nol Kilometer, dihilangkan.
Weh..ada babinya -.-‘
LikeLike
hehehe iyaa, ‘penduduk lokal’ di sana ituu.. ada namanya, tapi lupaa …
LikeLike