15 Februari 2011. Pada tanggal itulah saya memproklamasikan diri ingin menjejakkan kaki di pulau nomor dua paling barat di negeri ini; Pulau Weh. Apa yang membuat saya tertarik ke sana? Sebagai beach hunter, jawabannya pasti sudah jelas; pantai dan lautan indah yang terdapat di pulau itu!
27 bulan setelah keinginan itu muncul, apa yang saya tahu mengenai Pulau Weh, selain pantai-pantainya yang memesona? Jujur, tak ada. Pikiran saya hanya terfokus pada pantai dan pantai. Oh, saya tahu, Pulau Weh beribu kota di Sabang. Dan hanya ada satu mesin ATM di Pulau itu. Hanya itu.
Jadi, begitu kami tiba di Pelabuhan Balohan dan bertolak menuju Kota Sabang, saya blank. Saya tidak punya gambaran jelas mengenai kota ini. Bahkan, saya baru tahu Pulau Weh secara administratif pemerintahan berbentuk kotamadya, setelah memasuki wilayah kota. Saya langsung kaget karena saya pikir Sabang hanyalah kota kecamatan hehehe.
Dalam perjalanan itu, Bang Dhendi memberitahu lebih banyak perihal Sabang dan aktivitas warganya. Ia menyebut Sabang agak mirip dengan Banda Aceh, yakni, punya jam rehat. Namun, pelaksanaan jam rehat di Sabang lebih dahsyat. “Mulai jam 12 aktivitas terhenti. Toko-toko, warung makan, semuanya nyaris tutup. Baru buka lagi jam 17an,” kata Bang Dhendi.
Saya masih berpikir, kemungkinan tidak separah itu. Namun, lagi-lagi saya keliru. Tiba di kota, Bang Dhendi membawa kami berkeliling untuk mencari warung makan karena saat itu sudah jam makan siang. Namun, semuanya tutup. “Apa sudah saya bilang, Mbak,” kata Bang Dhendi sambil tertawa.
Sepanjang perjalanan, pria yang bertugas di Puskesmas Aneuk Laot ini bercerita panjang lebar mengenai keseharian warga Sabang. Aktivitas sekolah dan perkantoran baru dimulai jam 08.00. Mengapa tidak jam 07.00 seperti pada umumnya sekolah di Pulau Jawa? Itu karena pengaruh matahari. Di Pulau Weh, jam 6 pagi masih gelap alias matahari baru saja muncul dari peraduan. Kebayang jika harus memulai aktivitas sejam kemudian…
Khusus pegawai kantor pemerintah, jam kerja mereka sampai pukul 13.00 atau 14.00 WIB. Jika Jumat, kegiatan menjadi lebih tidak efektif lagi karena adanya Jumatan bagi kaum muslim yang mayoritas mendiami pulau ini. Sebagai ‘konsekuensi’ rehat yang cukup lama, jam buka toko maupun warung makan menjadi lebih panjang di malam hari. Mereka baru tutup menjelang pergantian hari, pukul 00.00.
‘Tradisi’ itu sangat berbeda dengan daerah di bagian lain Indonesia. Di Pulau Jawa, misalnya, jam rehat di Sabang merupakan waktu kerja produktif. Kami yang agak heran mendengar cerita Bang Dhendi mulai menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Yang utama, kenapa aktivitas berhenti begitu lama sejak pukul 12?
Jawabannya di luar dugaan. Entah benar atau tidak. “Setelah salat zuhur dan makan siang, warga lebih suka bersantai-santai. Ngobrol sambil ngopi, nonton tivi, atau tidur. Nggak ngoyo bekerja atau cari uang. Kami ini warga Sabang, SAntaiii BANGetttt,” jawab Bang Dhendi, lagi-lagi sambil terbahak. Karena jawaban meluncur dari penduduk lokal, kami hanya manggut-manggut sambil kompak berucap; “enak bangeettt…” hahaha…
Dan benar, setelah pukul 17-an, Sabang kembali menggeliat. Jalanan yang saat siang hari terlihat lengang, mulai diisi kendaraan bermotor, meski kuantitasnya juga tidak seberapa. Di mata saya, Sabang terlihat seperti kota-kota kecil di Pulau Jawa pada awal 1990-an. Lihat saja deretan pertokoannya. Yang cukup menarik perhatian saya, salah satunya adalah papan nama di toko atau warung makan dari kayu yang masih digunakan. Tempoe doeloe banget… Juga, angkutan umum di sini. Duh, kalau soal yang satu ini saya agak gimana gituuu… Lha wong pick-up yang digunakan sebagai angkutan umum sudah tua banget… :p
Sabang, yang menurut sensus penduduk 2010 berpenghuni sekitar 31 ribu jiwa, benar-benar terlihat sebagai kota yang santai. Layaknya kota-kota yang jauh dari gemerlapnya modernitas, detak jam di sini berjalan pelan, seolah memberikan kesempatan bagi warganya untuk menikmati dan meresapi kegiatan apa pun yang dilakukan. Tidak ada yang namanya terburu-buru di Sabang.
Meski hanya beberapa hari yang singkat di Sabang, saya bisa menyimpulkan sekaligus merekomendasikan jika kota ini cocok bagi kita yang mencari suasana ‘segar’, lepas dari pengapnya rutinitas kota besar. Hhmmm, entah sampai kapan Sabang akan bertahan seperti itu, tetap menjadi kota yang SAntaiiii BANGettt 😀
CATATAN
-Per Mei 2013 sudah ada tiga mesin anjungan tunai di Sabang, yakni Bank BRI, BNI, dan Mandiri.
-Menurut Atjeh Cyber, Sabang berasal dari kata dalam bahasa Aceh ‘saban’ yang berarti sama hak dan kedudukan dalam segala hal.
-Di Asia Tenggara ada nama Sabang lain, selain Sabang, ibu kota Pulau Weh, yakni di Palawan, Puerto Princesa, Filipina. Sabang di sana merupakan sebuah desa wisata, yang objek utamanya juga pantai dan laut. Jangan keliru yah!
🙂 sama kaya di eropa dong.di perancis,italy,jerman dan mayoritas euro juga begitu.start jam 8-14.buka lagi jam 17-20.00.kalo summer bisa sampai jam 22.00.
LikeLike
pengaruh matahari kali ya hehehe.. kalo diitung2, kerja sama ngasonya banyakan ngasonya.. nyanteee..
LikeLike
Nyaman buat tempat tinggal deh di sana. Suasananya homey banget.. Tingkat stres pasti menurun drastis. Hehehe..
LikeLike
yup, bener bangett… di sana cuma 2 hari aja udah kebawa ritme hidup nyante :p
LikeLike