Gempor, Deg-Degan, dan Kunang-Kunang

Siapa bilang short escape kurang menghasilkan kenangan dan pengalaman maksimal? Saya mengalami sendiri bagaimana melakukan perjalanan, yang sebenarnya destinasinya tidak terlalu jauh serta berdurasi pendek, memberi aneka cerita.

Sabtu, beberapa bulan silam, saya ikut trip ke Cianjur. Semula tak ada rencana jalan ke sana. Tetapi beberapa hari sebelum hari H saya melihat penawaran trip lewat twitter yang menarik perhatian. Dengan biaya Rp182 ribu kami akan dibawa ke tiga destinasi di Cianjur, yakni Stasiun Lampegan, Situs Gunung Padang, dan Curug Cikondang.

Saya, yang penasaran dengan kehebohan Gunung Padang, memutuskan mengambil trip itu. Jadilah saya dan puluhan pejalan lainnya berangkat ke Cianjur menaiki empat elf. Yup, sebanyak itu peserta tripnya. FYI, ini adalah trip pertama saya melalui trip organizer dengan jumlah rombongan terbanyak. Selama ini saya lebih sering jalan sendiri. Kesan saya ikut trip dengan rombongan sekampung? Hmmm.., lebih baik tidak diulangi :p

So, setelah menempuh perjalanan sekitar 3,5 jam kami sampai di tujuan pertama, yakni Stasiun Lampegan. Stasiun peninggalan kolonial Belanda ini mulai dibuka pada 1882 dan sekarang sudah tidak aktif lagi. Dari hasil-hasil brosing sebelum ke Cianjur, saya memperoleh info mengenai adanya legenda di stasiun ini. Yah, namanya bangunan tua pasti ada saja kisah menarik yang menyertai. Di sini rombongan banyak yang memutuskan berjalan untuk mencapai ujung sisi lain terowongan rel.

5322_10200626837621009_602168390_n

Saya yang diberitahu di Situs Gunung Padang akan membutuhkan banyak energi, memilih melipir. Menikmati apa yang bisa dilihat dari dekat saja. Maklum stamina saya tergolong kurang oke untuk diajak berjalan dengan medan naik-turun.

Rupanya penghematan energi itu tak terlalu manjur. Saya tetap megap-megap ketika menjalani rute ke Situs Gunung Padang. Dari tempat parkir kendaraan, kami harus berjalan jauh (menurut ukuran saya). Saya pikir setelah melahap rute itu, objek Gunung Padang sudah bisa kami nikmati. Namun, saya keliru. Sampai di pintu masuk, saya harus kembali mendaki, melahap puluhan anak tangga. Haduuuuh, napas ini sudah mau putus rasanya. Untung ada satu rekan perjalanan yang sama ngos-ngosannya dengan saya. Jadilah kami naik tangga, satu dua satu dua, sambil sesekali berhenti mengambil napas :p

Akhirnya, saya sampai di situs yang beberapa waktu terakhir selalu jadi perdebatan sejumlah kalangan ini. Saya sempat heran, sebenarnya di mana ekskavasi yang katanya sedang dilakukan. Mungkin di bagian lain situs karena di Gunung Padang yang saat itu saya kunjungi tak menunjukkan sama sekali adanya kegiatan ekskavasi. Bisa jadi lantaran area situs cukup luas. Hingga sekarang saya masih tak jua jelas dengan perdebatan terkait situs yang konon lebih tua dari Piramida Mesir itu.

Kesempatan bertanya-tanya dengan pemandu situs tak saya lewatkan. Akan tetapi, jawaban-jawaban yang diberikan pemandu yang merupakan penduduk lokal tersebut tak mampu menjawab rasa penasaran saya. Ya sudahlah, lebih baik saya merekam dalam ingatan seluruh area Gunung Padang yang terdiri dari beberapa tingkatan dengan reruntuhan batu-batu itu.

Belum hilang rasa capek, kami harus segera melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, yakni Curug Cikondang. Saya turun lebih dulu. Beberapa ratus meter sebelum sampai di lokasi parkir kendaraan, saya berpapasan dengan elf yang kami tumpangi. Rupanya mereka hendak menjemput kami di pintu masuk, di atas. Kyaaa!! Tau gitu saya tak perlu susah-susah turun sendiri. Begitulah kalo jalan dengan rombongan yang terlalu banyak massa. Saya justru jadi agak cuek dengan itinerary dan malas bertanya ini-itu dengan pengelola trip. Salah sendiri juga sih.

Rombongan lantas bergerak menuju curug. Dari hasil brosing, objek ini terlihat menjanjikan. Bagus maksudnya. Hanya, perjalanan ke sana, katanya sekitar 7 kilometer dari Situs Gunung Padang, terkendala dengan medan yang naik-turun dan berliku. Belum lagi kondisi jalan yang masih belum beraspal. Saya benar-benar tak menyangka, perjalanan menuju curug tersebut bakal jadi perjalanan darat paling mendebarkan yang pernah saya alami. Bayangkan saja, elf melaju di atas jalan tanah sempit dan berbatu-batu, naik turun, belok ke kanan ke kiri, sementara di samping kami jurang berupa perkebunan teh menganga lebar.

Saat itu hari sudah beranjak sore. Saya sampai pucat dan berkirim BBM pada sahabat saya; “Mendebarkan sekali rutenya! Kalau naik motor mungkin jauh lebih aman. Entah kapan kami sampai. Ini adalah 7 kilometer terlama saya!” Sahabat saya balas menjawab: “Dengan kondisi itu, apa bisa sampai di sana sebelum gelap?. Saya tak yakin harus menjawab apa. Tapi melihat sore itu yang semakin menggelap, saya sangsi juga apakah bisa menikmati curug dengan optimal.

392684_10200626843901166_1209028286_n

Keraguan itu terjawab. Dan, yap, apa yang dikhawatirkan sahabat saya jadi kenyataan. Setelah menempuh perjalanan yang membuat senam jantung, kami turun dari elf dalam kondisi langit sudah gelap, hanya menyisakan semburat-semburat cahaya rembang petang.

Saya kembali disergap keraguan apakah akan tetap ke curug atau tidak. Selain sudah tak akan bisa melihat dengan jelas, untuk mencapai TKP, saya harus berjalan naik-turun lagi! Menantang benar trip kali ini.. Karena sudah di depan mata, saya tepiskan rasa capek dan kembali bergegas berjalan sebelum cahaya benar-benar menghilang. Setelah berjalan terseok-seok, curug yang menjulang gagah itu bisa saya nikmati dalam keterbatasan cahaya. Sejenak, saya lupa harus balik ke elf dan berjalan lagi!

Saat berjalan pulang, saya membayangkan berada di tempat itu saat pagi atau sore hari. Pasti akan sangat indah mengingat area curug dikelilingi perkebunan teh yang menawan. Ada pula bunga-bunga liar yang tumbuh indah di rerumputan di kanan-kiri jalan setapak. Tetapi, sebelum sampai di penghujung jalan, saya memperoleh obat mujarab untuk kaki saya yang terasa gempor. Apa itu?

Di sana, di seberang sungai kecil yang mengalir, saya melihat satu.., dua.., bukan, tapi tiga.., kunang-kunang terbang dengan indahnya! Saya terpukau dengan kelap-kelip kunang-kunang itu, yang sudah sekian tahun lamanya tidak saya lihat. Seketika rasa gempor di kaki langsung hilang! Ingin rasanya saya memandanginya lama-lama. Tapi, rombongan harus segera kembali ke Jakarta.

Menikmati atraksi kunang-kunang jadi atraksi terakhir sepanjang Sabtu yang banyak cerita itu… Hatur nuwun kunang-kunang jadi penutup yang indah untuk short escape kali ini 🙂

pic from kaskus.co.id

2 thoughts on “Gempor, Deg-Degan, dan Kunang-Kunang

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s