Setelah dua hari menginap di Hoi An, pada Selasa pagi kami berkemas untuk kembali Ke Da Nang. Tak banyak referensi tempat wisata yang kami miliki soal Da Nang karena status Da Nang sebagai kota perdagangan memang tak memiliki banyak destinasi wisata. Hasil dari gugling serta bertanya kepada pengelola hostel di Hoi An, kami memutuskan mengunjungi tiga destinasi wisata selama sehari keberadaan kami di Danang.
Destinasi tersebut meliputi Marble Mountains, Linh Ung Buddhist Temple, dan Museum Cham. Menurut travel wiki sebenarnya masih ada satu lagi yang bisa dikunjungi, yakni Ba Na Hill Station. Tetapi karena lokasinya yang relatif jauh, sekitar 40 KM dari Da Nang, destinasi itu terpaksa kami skip karena keterbatasan waktu.
Sekitar pukul 08.00 WIB mobil elf pesanan kami dari hostel sudah siap menjemput. Lokasi pertama yang kami datangi adalah Marble Mountains. Bagi yang belum tahu, Marble Mountains merupakan sebuah bukit di mana terdapat beberapa pagoda, juga goa, yang digunakan sebagai tempat ibadah.
Karena terletak di bukit, kita harus mendaki untuk mencapai kuil serta goa tersebut. Jangan khawatir, karena apabila tak mau capek berjalan kaki kita bisa naik lift. Tentu ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk opsi ini. Selain harga tiket masuk, pengunjung yang memilih naik lift dikenakan tambahan biaya 15.000 VND. Cukup murah daripada ngos-ngosan jalan kaki.
Menurut saya, Marble Mountains cukup unik karena berada di wilayah perkotaan. Maklum, dalam benak saya bukit itu adanya di pedesaan. Dari atas Marble Mountains yang punya beberapa puncak, kita bisa melihat lanskap Kota Da Nang serta lautan yang membentang luas di sisi yang lain. Menarik!!
Oya, Marble Mountains juga menyimpan kekayaan alam melimpah berupa batuan marmer. Penduduk sekitar menambang bebatuan tersebut dan menjadikannya bermacam-macam barang seperti patung dan perhiasan. Jadi, jangan heran apabila di sekitar Marble Mountains banyak berjejer toko-toko yang menjual hasil kerajinan. Bahkan, mobil yang kami sewa dari dan ke Da Nang membawa kami ke salah satu toko tersebut untuk sekadar melihat-lihat. Kalau Anda tertarik, silakan beli. Jika tidak pun tak mengapa.
Sekitar 1,5 jam kami berada di Marble Mountains. Tujuan selanjutnya adalah ke Dai A, hostel yang sudah kami pesan sebelumnya melalui hostelworld. Sebagai catatan, kami cukup puas dengan hostel-hostel yang kami pesan selama berada di Hoi An dan Da Nang. Khusus di Dai A, meski berlabel hostel, lebih cocok disebut hotel. Kamarnya cukup luas, bersih, dan ada fasilitas breakfast. Sementara harganya cukup terjangkau.
Setelah check in dan berkeliling mencari makan, kami kembali ke hostel dan menyewa motor untuk mencapai objek-objek selanjutnya. Usai negosiasi soal harga dengan pengelola hostel, kami memulai perjalanan di Da Nang dengan dipandu seorang guide bernama Hai. Ia merupakan pria paruh baya yang terlihat kekar. Dan Yus Mei mendapat kehormatan dibonceng olehnya 😀
Catatan saya, bagi pelancong pemula seperti kami, lebih baik didampingi pemandu mengingat Da Nang tidak terlalu ramah bagi wisatawan. Akses transportasi umum terlampau susah dimengerti. Untuk kemudahan, taksi atau mobil sewaan menjadi pilihan terbaik. Kehadiran pemandu, atau setidaknya orang lokal, diperlukan bagi rombongan yang butuh efesiensi dari segi waktu serta pengeluaran seperti kami.
Kami pun mengarahkan motor menuju Museum Cham, yang rupanya terletak tak begitu jauh dari hostel tempat kami menginap. Museum ini didirikan pada 1915 dan berisi artefak-artefak peninggalan kebudayaan Champa. Jika Anda masih ingat cerita saya mengenai candi My Son, sejumlah reruntuhan atau peninggalan candi tersebut diamankan serta dipajang di museum ini.
Cham Museum tak begitu luas. Sebagai perbandingan, Museum Nasional di Jakarta, jauh lebih luas. Pelancong biasanya menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menikmati koleksi yang dipamerkan.
Saat di museum, Hai menawarkan kami untuk mendatangi sebuah rumah ibadah yang menurutnya cukup menarik untuk kami kunjungi. Kami yang tak memiliki informasi apapun terhadap ‘objek wisata’ ini dibuat penasaran. Jadilah kami beriringan menuju lokasi yang dimaksud. Ternyata, tempat tersebut merupakan tempat ibadah mereka yang menganut kepercayaan Cao Dai.
Secara singkat, Cao Dai ini merupakan ‘penggabungan’ dari lima agama yang dianut masyarakat di dunia. Untuk memasuki gedung ibadah ini, ada pemisahan pintu bagi pengunjung laki-laki dan perempuan. Unik bukan? Nah, bagi Anda yang ingin mengetahui lebih detil mengenai Cao Dai serta kunjungan kami ke rumah ibadah tersebut, silakan kunjungi blog Yus Mei di sini.
Kelar dari sana, kami memacu motor menuju luar kota. Saya agak deg-degan bermotor di Vietnam. Yah, tau sendiri bagaimana reputasi Vietnam dengan para pengendara motornya yang luar biasa banyak. Tapi syukurlah, saat itu semua berjalan lancar. Keluar dari pusat kota, jalanan Da Nang cukup mulus. Di sebelah kanan kami terlihat lautan lepas. Dan, di depan kami dari kejauhan terlihat sebuah patung yang menjulang indah dan kuat.
Ya, di sanalah tujuan kami. Linh Ung Buddhist Temple, nama destinasi berikutnya yang terletak sekitar 13 KM dari pusat kota. Linh Ung Buddhist pada dasarnya juga merupakan sebuah tempat ibadah. Namun, pelancong tak boleh melewatkan lokasi ini apabila sudah berada di Da Nang. Sajian utama pagoda Linh Ung Buddhist adalah patung Quan The Am setinggi 67, dan beberapa patung lain yang sangat menarik.
Karena terletak di atas bukit, lanskap di sekitar Linh Ung Buddhist begitu indah. Sejauh mata memandang membentang lautan lepas di hadapan kami. Saat itu, langit juga nampak indah dengan warna birunya yang sempurna. Banyak pula pengunjung lokal yang datang. Seperti halnya kami, mereka juga sibuk mengabadikan daya tarik pagoda yang dibangun pada 2010 ini.
Seiring waktu yang beranjak sore, kami meninggalkan Linh Ung Buddhist. Tentu, kami menyempatkan diri berhenti di pantai Da Nang dengan pasirnya yang berwarna putih itu. Sekali lagi, saya tak pernah bosan dengan aktivitas seperti ini. Nongkrong di pantai saat petang menjelang, bersama orang-orang yang dikasihi. Kebetulan pula, ketika berada di sana ada penduduk lokal yang tengah melakukan pemotretan prewedding. Membuat suasana semakin romantis. He he he..
Aktivitas di Da Nang hari itu kami akhiri dengan sangat menarik. Apalagi jika bukan menonton aksi skuad Garuda yang disaat bersamaan tengah menggelar uji coba dengan Vietnam di Hanoi. Sensasi baru bagi kami, menyaksikan pertandingan live Tim Merah-Putih di negara orang, dengan komentator berbahasa yang tak kami mengerti. Sayang sekali, di cafe kecil tempat kami menonton, kami tak mendapatkan tandingan karena pengunjung di cafe itu hanya kami berlima. Padahal saya berharap bisa sedikit adu mulut dengan pendukung tuan rumah. Lebih seru pastinya! <BERSAMBUNG>
Penonton bola yang orang vietnam gak seru…harusnya kita cari yang lebih ramaiiii :):)
LikeLike
Hehehe yap benar. Atau kita yang salah pilih cafe… :p
LikeLike