Siraman Rohani Menyegarkan di Siang Hari yang Terik

“Salat Jumat kali ini pasti terasa berbeda, begitu kata saya dalam hati. Jumat siang itu saya berada di Cirebon dan hendak menjalankan salat di salah satu masjid tua nan bersejarah di negeri ini. Ya, sebentar lagi saya akan memasuki dan salat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau yang juga populer dengan nama Masjid Adzan Pitu. Saya menanti dengan antusias pengalaman religius itu.

Saya sudah acapkali mendengar cerita seputar masjid peninggalan Sunan Gunung Jati itu, namun baru kali ini saya bisa menjejakkan kaki di sana.

Meski masih satu jam sebelum waktu Jumatan dimulai, suasana masjid sudah cukup ramai. Pemandu yang juga ikut Jumatan bercerita bahwa Masjid Adzan Pitu tidak pernah sepi pengunjung. Mereka tidak hanya datang dari Cirebon dan sekitarnya atau kota lain di Pulau Jawa, tetapi juga datang dari berbagai pulau di Tanah Air dan bahkan negara manca.

Singkat cerita, saya lantas mengambil wudhu dan masuk ke masjid. Saya bermaksud mengambil posisi di baris depan, tapi apa daya sudah penuh sesak. Saya mencoba mencari celah dan beruntung menemukan posisi yang lumayan, di depan pintu masuk ruang utama masjid, untuk bisa merasakan adzan pitu lebih intens. Melalui pintu yang tidak terlalu lebar itu saya bisa melihat 3-4 orang dari tujuh orang yang mengumandangkan adzan.

Dari cerita yang saya ketahui, di zaman Sunan Gunung Jati adzan pitu (adzan yang dilakukan secara bersamaan oleh tujuh orang muazin berseragam putih) dimaksudkan untuk menangkal setan dari tujuh penjuru mata angin. Benar atau tidak, wallahu’alam. Yang jelas mengikuti prosesi adzan pitu jadi pengalaman religi yang tidak pernah saya alami sebelumnya.

Pengalaman saya atas masjid yang konon dibangun pada 1489 itu tidak hanya berhenti soal adzan pitu. Saya sempat terkejut ketika mengetahui khatib memberikan kutbah dalam bahasa Arab. Semula saya tidak melihat ‘keanehan’ karena seperti biasa salam sebelum kutbah dimulai disampaikan dalam bahasa Arab. Tapi, setelah itu, tiga menit, 10 menit, 20 menit sampai 30 menit, khatib terus berkutbah dalam bahasa Arab hingga salat dimulai.

Seusai menjalankan Jumatan saya bertanya pada pemandu perihal keunikan itu. Fajar, pemandu kami, menjelaskan penggunaan bahasa Arab sudah dilakukan sejak zaman Sunan Gunung Jati dan dipertahankan sampai sekarang. Salah satu alasannya supaya atmosfer masjid di Tanah Suci bisa benar-benar dirasakan.

Saya setuju dengan alasan itu walau sejujurnya, selain ucapan salam pembuka, saya tidak mudeng dengan bahasan kutbah siang itu he he he.. Yah, paling tidak saya sudah mendapat pengalaman baru, yang meski singkat tapi menjadi siraman rohani menyegarkan di siang hari yang terik itu.” 

 

NOTE: karena saya bukan muslim, saya terpaksa ‘nodong’ teman seperjalanan yang ikut ke Cirebon untuk bercerita mengenai pengalamannya kala salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Tidak hanya mengunjungi masjid yang dibangun arsitek asal Majapahit itu, kami juga menyambangi Masjid tertua di Cirebon, yakni Masjid Panjunan, yang konon dibangun pada 1453. Masjid itu juga dikenal dengan nama Masjid Bata Merah merujuk pada pagar masjid yang dibangun dari konstruksi bata merah. Seluruh bangunan masjid yang dipengaruhi budaya Hindu, Cina, dan Arab itu juga dihiasi warna merah tua yang mencolok mata. Seperti halnya warnanya yang menarik, Masjid Panjunan juga memiliki nilai sejarah tinggi.
Menurut saya, selain mengunjungi keraton, perjalanan ke Cirebon wajib dilengkapi dengan kunjungan ke masjid tua yang memiliki nilai sejarah serta religi tinggi. Sayang sekali jika sampai dilewatkan!

Leave a comment