Pesut, Penyu, Kukar, dan Kembang Api

Dua pekan lalu kakak perempuan saya memposting di akun Facebook miliknya, sebuah berita mengenai seekor ikan pesut yang ditemukan di perairan sungai Loa Aji. Ikan yang menjadi maskot Kota Samarinda itu tersangkut jaring nelayan dan ketika diangkat sudah dalam kondisi mati.

Apa reaksi saya setelah membaca berita itu? Sedih, tentu saja. Atau lebih tepatnya miris. Itu karena pesut termasuk satwa yang dilindungi. Bahkan ikan air tawar yang mirip lumba-lumba itu kini nyaris punah. Orang di pinggiran Sungai Mahakam yang menjadi tempat hidup pesut sekarang ini juga sudah jarang melihat ikan tersebut dalam kondisi hidup. Paling banter ya itu tadi, mati kesangkut jaring nelayan atau mati kena kapal pengangkut batu bara yang lalu lalang setiap hari di Sungai Mahakam.

Saya ingat ketika pertama kali tiba di Samarinda, sewaktu melintasi jembatan Mahakam Ulu, ada keinginan melihat sosok pesut itu secara langsung. Secara ikan ini jadi maskot Kota Samarinda, paling nggak ya ada lah satu-dua ikannya yang dipelihara oleh pemerintah, atau bangkai ikannya yang ditaruh di museum, atau apa gitu. Ternyata, tidak ada Saudara-Saudara. Kata kakak cowok saya, ikan itu sudah nyaris tinggal cerita untuk anak cucu.

-wikipedia-


Agak beda dengan Kota Balikpapan yang bermaskot beruang itu. Kita masih bisa melihat secara langsung hewan tersebut di Kawasan Wisata Hidup Balikpapan. Letaknya sekitar 25 km dari Kota Balikpapan, ke arah Samarinda. Saya belum sempat mampir ke sana, tetapi dari foto-foto yang saya lihat, di sanalah salah satu tempat konservasi beruang.

Kembali ke pesut, akhirnya saya merelakan untuk tidak bisa bertemu ikan itu. Lha iya, masak ngotot? Dibela-belain sampai ke pedalaman Kaltim juga belum tentu bisa lihat.

Di Samarinda pula saya menemukan deretan penjual telur penyu. Hal itu saya lihat pada hari keempat keberadaan saya di kota itu. Lagi-lagi mas dan mbak saya yang menginformasikan keberadaan mereka. Keduanya lumayan geram dengan bebasnya transaksi jual beli telur-telur penyu tersebut. Saya setuju. Mau bagaimanapun, stok penyu di Indonesia ini sudah kian menipis. Di Pulau Sangalaki yang masih satu provinsi, keberadaan penyu sangat dilindungi. Terlepas apakah penyu-penyu ini berjenis sama atau tidak, lha kok ini malah ada telur penyu yang dijual bebas. Mana mereka menggelar lapak dagangannya persis di dekat kantor gubernur Kaltim. Duh!

Kota Samarinda memang agak aneh menurut saya. Sebagai ibu kota provinsi terkaya di Indonesia, kota ini malah tidak memiliki bandara berskala internasional. Balikpapan yang punya. Jadi, warga Samarinda harus terlebih dahulu menempuh perjalanan via jalur darat selama 2,5 jam-3 jam ke Balikpapan untuk bisa ke luar provinsi.

Samarinda memang punya bandara, tetapi hanya melayani rute antarkota di Kaltim, dan paling jauh hanya melayani hingga Banjarmasin. Jenis pesawatnya pun hanya pesawat kecil. Namanya Bandara Temindung. Bentuknya? hehehe sama sekali tidak mirip sebuah bandara. Kecil, sepi, dan terletak di tengah-tengah perumahan penduduk. Saya sempat ditawari mas saya naik pesawat dari bandara itu untuk kembali ke Balikpapan. Dalam hati cemas juga. Untung saja, jadwal pesawat ke Balikpapan tidak ada yang sesuai dengan jadwal kepulangan saya ke Jakarta via Balikpapan. Amaaan wkwkw

Selain berkeliling kota hingga melintasi Jembatan Mahkota Dua, di hari Selasa itu saya diajak ke Tenggarong. Jarak Samarinda ke ibu kota Kabupaten Kukar itu sekitar 41 km dan ditempuh kurang dari satu jam, dengan akses jalur darat lumayan bagus.

Hmmm… saya sempat agak bingung dengan Kukar ini ini. Ketika keluar dari Balikpapan, wilayah itu sudah termasuk Kukar. Mau masuk, dan setelah keluar dari Samarinda, juga wilayah Kukar. Ini kabupaten wilayahnya sampai mana-mana pikir saya. Pantas saja Kukar menjadi kabupaten terkaya di Indonesia. Dengan wilayahnya yang super luas, sumber daya alamnya, terutama batubara, cukup melimpah. Pertambangan dan penggalian menjadi dua sektor utama Kukar.

Meski berstatus kabupaten super kaya, tak serta merta kota Tenggarong menjadi kota modern. Hehehe ya begitu itu kotanya… Saya mendatangi Kedaton Kukar yang ternama di masa lampau itu. Namun, harap dicatat, saya hanya numpang foto di depan bangunan Kedatonnya saja wakaaakaaa. Mau bagaimana lagi? Saat itu sudah sore, mana malam Takbiran. Bangunan yang dulu merupakan istana milik Sultan Kukar itu sudah tutup, kami tak bisa masuk.

Sementara itu di depan Kedaton terdapat sebuah taman yang cukup asri, dan ada masjid Kota Kukar. Sedangkan persis di sebelah Kedaton terdapat masjid lain, yang konon merupakan masjid tertua di Kukar.

Puas foto-foto di sana, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Mulawarman. Lagi-lagi museum ini sudah tutup. Namun, gerbang museum masih terbuka. Kami bisa masuk, dan aktivitas apa lagi yang kami lakukan selain mengambil kenangan dalam bentuk foto-foto… Sayang memang saya tidak bisa melihat koleksi museum. Jika Kedaton Kukar itu adalah tempat tinggal Sultan maka museum ini dulunya adalah bangunan Keraton Kesultanan Kukar. Baru pada 1976 dialihfungsikan menjadi museum. Di kompleks Museum Mulawarman ini terdapat juga makam raja-raja Kukar.

Selanjutnya, kami nongkrong di ‘bawah’ Jembatan Kukar. Banyak orang menyebut jembatan itu sebagai Golden Gate, lantaran katanya merupai jembatan yang ada di San Fransisco itu. Jembatan tersebut sekaligus menjadi pintu masuk ke Kota Tenggarong.

Nah, di area bawah jembatan ini kita bisa duduk-duduk sambil menikmati makanan kaki lima dan melihat kapal pengangkut batu bara yang hilir mudik di Sungai Mahakam. Di kejauhan terlihat Pulau Kumala. Sebuah pulau? Yup. Layaknya di lautan, di Sungai Mahakam yang sangat luas itu juga punya pulau di tengah-tengahnya. Salah satunya ya yang kemudian diberi nama Kumala ini. Pulau ini menjadi lokasi wisata baru. Di dalamnya terdapat berbagai wahana permainan, termasuk adanya kereta gantung atau cable car. Di pulau ini juga berdiri dengan megahnya patung Lembuswana, lambang Kerajaan Kutai.

Lembuswana merupakan hewan mitologi rakyat Kukar. Digambarkan berkepala singa, punya mahkota, berbelalai gajah, bersayap garuda, serta bersisik ikan.

Dalam perjalanan pulang ke Samarinda, kami kembali melewati Stadion Aji Imbut. Kandang Mitra Kukar. Saya menutup hari keempat di Samarinda dengan larut dalam pesta kembang api di malam takbiran. Seperti saat malam tahun baru, warga Samarinda tumpah ruah di malam jelang Idul Fitri. Selain menggelar takbiran keliling kota, ribuan warga terus menerus menyalakan kembang api. ‘Pesta’ baru berakhir jelang dini hari. Benar-benar mirip malam tahun baru…

Note: Ini catatan bagian kedua dari Kabur Ke Kaltim. Untuk yang bagian pertama bisa diklik di sini.

Leave a comment