Pada 1998, Juve memenangi apa yang disebut “musim penuh racun.” Mereka menang karena wasit menganulir gol lawan-lawan Juve dan lalai menghukum kesalahan-kesalahan Juve dengan selayaknya. Sekalipun Juve paling banyak berbuat pelanggaran dibandingkan klub lainnya di Liga Italia, mereka justru mendapatkan kartu merah paling sedikit. Inkonsistensi statistik ini berlawanan dengan penalaran logis. Musim kejuaraan kali itu bisa diringkas dalam pertandingan melawan saingan terberat mereka, Inter Milan. Setelah pemain Juve terang-terangan mengganjal badan penyerang Inter dari Brasil, Ronaldo, wasit enggan memberi Inter hadiah penalti. Tak lama berselang, di sisi lapangan Inter, wasit malah memberi Juve tendangan penalti atas sebuah akting penuh kepalsuan. Seorang pemain Juve tiba-tiba tergelimpang ke lapangan tanpa penyebab apapun yang bisa dijelaskan oleh hukum fisika. Pertandingan kali itu benar-benar penuh kecurangan sampai koran milik Agnelli sendiri, La Stampa, mengecam pemberian piala kemenangan kepada Juventus. “Orang tidak bisa terus menerus diam ketika dihadapkan pada kebetulan-kebetulan tertentu yang sedemikian unik ini, dan katakanlah, ‘bergizi’…”
Tulisan di atas adalah sekelumit kecil isi buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim Tentang Sosial-Politik Globalisasi, karya Franklin Foer. Sebagai penggemar Juventus saya bukannya marah atau tersinggung dengan tulisan Mr Foer.
Saya justru tertawa geli. Bisa diartikan sedemikian seringnya saya mendengar caci maki tentang Juve, jadi sudah terbiasa. Membaca bagian ini seakan menjadi penegasan akan kecurangan Juve itu. Saya membaca dengan seksama ‘sejarah’ yang sebenarnya mengapa kecurangan begitu dekat dengan Juve. Kebenaran di sini tentu dari versi Mr. Foer.
Tak hanya Juventus yang ‘diobok-obok’. AC Milan dengan Silvio Berlusconi-nya juga menjadi objek kajian pada bab Sepak Bola dan Lahirnya Kelas Oligarki Baru, mulai halaman 162 di buku ini. Pada bab ini Mr. Foer mengawalinya dengan mengungkapkan betapa penting peran wasit di Liga Italia hingga skandal perwasitan yang melingkupinya, sampai pada cerita mengenai keluarga Agnelli, empunya Juventus, AC milan, dan juga Inter Milan.
He he he gampangnya sih begitu saya meringkas tulisan Mr. Foer pada bab Sepak Bola dan Lahirnya Kelas Oligarki Baru ini. Aslinya, jelas lebih dalam dan bikin kita manggut-manggut tanda mengerti.
Asyiknya nih, buku setebal 248 halaman ini mempunyai 10 bab yang kesemuanya menurut saya sangat sayang untuk dilewatkan. Bab pertamanya saja sudah cukup menjanjikan. Sepak Bola dan Perang Gangster Serbia. Membaca bab pertamanya saja sudah seru.. Lanjut ke bab berikutnya.
Pertikaian ‘abadi’ Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic yang berselimut konflik agama dibahas tuntas pada bab dua, Sepak Bola dan Komersialisasi Konflik Agama. Tak kalah menariknya bab empat yang mengulas tentang Sepak Bola dan Hooligan Sentimentil.
Well, bab demi bab yang ada di buku ini merupakan hasil perjalanan Mr. Foer menyusuri jagat sepak bola internasional selama delapan bulan. Seperti yang dikatakan Mr. Foer dalam prolognya, buku ini punya tiga bagian. Yang pertama berusaha menjelaskan gagalnya globalisasi dalam mengikis kebencian-kebencian kuno yang mewarnai persaingan dahsyat olah raga sepak bola. Inilah bagian yang penuh berisi hooligan. Bagian kedua menggunakan sepak bola untuk menelisik persoalan ekonomi: dampak migrasi, berakarnya korupsi, dan bangkitnya oligarki-oligarki baru seperti Silvio Berlusconi. Terakhir, buku ini memakai sepak bola untuk membela nilai-nilai nasionalisme gaya lama, sebagai suatu cara untuk meredam kembalinya tribalisme.
Hmmm,… bikin pusing? Tidak juga karena Mr. Foer menuliskan semuanya dengan gaya penulisan yang apik dan kocak. Ada satu bagian yang cukup membuat saya tertawa. Bagian itu ada di bab 8, Sepak Bola dan Pesona Nasionalisme Borjuis. Di situ diceritakan tentang dua penjahat yang dibui dan kabur dari penjara demi menonton tim kesayangan mereka, Barca, bertanding melawan Real Madrid di Camp Nou. Usai menyaksikan pertandingan tersebut yang berakhir dengan kemenangan Barca, dua penjahat itu lantas mencari sipir penjara lalu menyerahkan diri. Apa yang mendasari aksi dua penjahat itu? Baca sendiri di halaman 200 yaa 🙂
Buku ini juga tak bikin puyeng meski judulnya panjang. Memang ada sih istilah-istilah yang tidak saya mengerti maksudnya (karena wawasan saya yang cekak). Yang jelas buku ini memberikan kesempatan pada kita untuk melihat dunia melalui sepak bola. Pas dengan judul bukunya.
Tidak salah memang beberapa pendapat yang menyertai buku ini. “Setiap babnya adalah mahakarya jurnalistik”, tulis Library Journal. ESPN.com menyebut buku ini “Sensasional… Buku olah raga tercerdas musim ini.” “Kocak dan menakjubkan.” demikian diungkapkan Mother Jones. Menurut saya buku ini memang layak menerima pujian-pujian itu.
Sedikit info tentang sang penulis. Franklin Foer adalah jurnalis politik yang bekerja sebagai redaktur senior The New Republic serta editor tamu majalah New York. Tulisannya dimuat juga di New York Times, Wall Street Journal, Atlantic Monthly, Foreign Policy, dan Spin. Kini Mr. Foer tinggal di Washington, D.C. Dia menggilai sepak bola dan sangat memuja FC Barcelona.
Pengarang: Franklin Foer
Penerbit: Marjin Kiri
Halaman: 248 lembar
Cetakan pertama, Juni 2006