Beautiful Disaster, Terdampar di Bandara Jeju

“Kamu butuh kaus kaki kering?” Tawaran itu datang ke messenger Facebook saya, terasa bak minum teh manis panas di angkringan Yogya atau hik di Solo. Terasa hangat sekaligus menyenangkan.

Sepahit apapun hidup, kalau sudah minum teh panas ala angkringan atau hik, hidup jadi manis… Well, saya mungkin sedikit berlebihan, tetapi itulah yang saya rasakan setelah membaca tawaran itu. Keramahan yang saya terima dari seseorang yang baru saya jumpai, enam jam sebelumnya, di tempat yang asing buat saya.

Saya mendongak dan memandang sekeliling. Malam itu saya berada di Bandara Internasional Jeju. Musim semi, tetapi udara cukup terasa dingin buat saya. Apalagi pakaian saya basah di beberapa bagian. Saya sudah melepas kaus kaki dan sepatu yang kena air.

Hujan deras dan angin, yang melanda sebagian besar wilayah di Jeju pada hari itu jadi penyebabnya. Sejak meninggalkan hostel pada pagi hari untuk menikmati wilayah Jeju menggunakan taksi sewaan, perjalanan saya dan seorang sahabat sudah dibarengi hujan. Dari yang semula rintik hingga berubah jadi hujan lebat disertai angin di pengujung perjalanan kami.

Setiba di Bandara Jeju pada sore hari karena saya akan kembali ke Seoul menggunakan penerbangan pada malam hari, saya sudah punya perasaan tak enak bila penerbangan kami tertunda. Kerumunan orang di depan dan menumpuk saat berada di dalam bandara, kian membuat saya cemas.

jeju-2

jeju-3

Apa yang saya khawatirkan jadi kenyataan. Tidak sekadar ditunda, penerbangan kami menang dibatalkan. Tidak hanya penerbangan kami saja namun juga ratusan lainnya ke berbagai jurusan dalam dan luar negeri.

Bandara Jeju lumpuh karena diterjang badai. Otoritas penerbangan tidak berani melepas pesawat untuk terbang dalam cuaca membahayakan seperti itu hingga cuaca membaik, yang diprediksi baru kembali normal keesokan harinya.

Alhasil, ribuan calon penumpang, termasuk kami, terpaksa mengubah rencana. Saya sempat panik. Apakah kami akan bermalam di bandara atau kembali ke hostel di mana kami menginap malam sebelumnya? Bagaimana dengan agenda hari terakhir kami di Seoul? Apa persediaan uang kami cukup untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan? Apa baterai handphone kami akan tetap menyala untuk berkomunikasi dengan keluarga? Oke, yang terakhir mungkin berlebihan lagi, tetapi itu masuk jadi hal yang langsung terlintas dalam kekhawatiran saya.

Setelah berembug, termasuk meminta kejelasan kepada maskapai yang akan kami tumpangi, kami memutuskan bermalam di bandara bersama ribuan calon penumpang lain. Kami beruntung mendapatkan secuil tempat kosong di pojokan. Sebenarnya sudah ada satu keluarga yang menggunakan lokasi itu, namun mereka berbaik hati sedikit berbagi dengan kami.

Membunuh waktu.. main hape.

jeju-5

Saya melepas sepatu dan kaus kaki yang basah. Dingin. Celana jeans satu-satunya juga ikut basah. Sambil membunuh waktu, saya berkomunikasi dengan keluarga dan teman di Tanah Air, mengabarkan bila saya baik-baik saja meski harus bermalam di bandara di negara orang, yang jadi pengalaman pertama saya.

Suasana sudah tidak lagi riuh seperti saat awal saya tiba di bandara. Kebanyakkan diam seperti saya dan sahabat saya, atau bercengkerama satu sama lain. Padahal, sebelumnya keributan sempat terjadi karena banyak yang mendatangi desk maskapai untuk meminta kejelasan reschedule penerbangan. Namun, hal itu tidak berjalan lama karena seluruh maskapai cukup kooperatif dan calon penumpang juga bisa memaklumi karena semua disebabkan force majeur. Mau maksa terbang di tengah badai?

Kami lagi-lagi cukup beruntung, keesokan harinya setelah mengantre dari jam 05.00 pagi waktu setempat, upaya saya dengan akting ala kadarnya mampu meluluhkan hati mas yang bertugas di front desk Jeju Air. Saya terpaksa berbohong dengan mengatakan saya memiliki penerbangan kembali ke Indonesia pada esok siang sehingga pada pagi harinya, saya sudah harus cek in di Bandara Incheon.

Gagal cek in berarti tiket pulang melayang dan Jeju Air harus mengganti kompensasi. Dengan kata lain, urusan jadi ribet karena ada multiple effect. Padahal, tiket kepulangan saya ke Indonesia masih lusa. Saya hanya ingin cepat kembali ke Seoul untuk mandi dan ganti baju serta menggunakan hari terakhir saya di Seoul dengan menyenangkan hehehe… *Maaf. Si mas luluh dan memberikan saya tiket dengan jadwal penerbangan Jeju Air paling pagi alias flight pertama. Well done! *puas.

Kembali ke percakapan di awal tulisan ini, kabar Bandara Jeju yang lumpuh akibat hujan dan angin tampaknya sudah terdengar di seantero Korea Selatan. Pesan itu dikirimkan ibu pengemudi taksi yang kami sewa seharian untuk berkeliling Jeju. Dia menawarkan bantuan untuk menjemput kami kembali ke hotel atau mengirimkan makanan, mengantar kaus kaki kering dan bersih, atau apapun permintaan kami.

Kami terharu dengan perhatiannya. Kami jadi merasa tidak sendiri di lingkungan asing ini. Namun, kami memilih menolak semua tawaran itu karena tak ingin merepotkannya. Kami baik-baik saja… kecuali, dingin…

Tak berapa lama kemudian, keramahan ala Jeju kami terima lagi. Kali ini dari pengelola bandara. Satu tepukan hangat mendarat di bahu saya. Menggunakan bahasa isyarat, tetangga kami bermalam di bandara mencoba memberitahu bila ada pembagian roti dan minuman. Tetangga kami itu juga membagi panganannya dengan kami. Dengan bahasa Inggris terbata-bata, dia mencoba mengajak kami ngobrol. Menanyakan dari mana asal kami dan berapa lama kami di Jeju. Good effort, Miss…

Tidak lama berselang, giliran petugas dengan bawaan yang lebih ribet; matras dan selimut, membagi-bagikan bawaan mereka itu kepada calon penumpang yang terdampar. Saya juga melihat, beberapa meter di depan kami, semacam meja besar ditata. Di atas meja-meja itu diberi colokan listrik yang difungsikan sebagai tempat mengecas massal. Beberapa posko juga didirikan sebagai tempat bila ada yang mencari informasi.

Di tengah situasi yang absurd, saya merasa lebih tenang. Kesigapan semua pihak pasca penundaan ini membuat saya tidak lagi cemas. Saya tidak lagi tidur beralaskan lantai, namun matras dan berselimut. Perut saya juga kenyang. Baterai handphone penuh, wifi juga lancar. Saya juga menikmati kebaikan orang-orang asing yang mendadak bak terasa saudara di tengah kesamaan nasib.

Untuk alasan apalagi saya mengeluh? Saya pun mencoba menikmati pengalaman yang saya sebut beautiful disaster ini. Seperti banyak orang bilang, pengalaman bisa datang dalam berbagai cara. Saya pun melewati malam di Bandara Internasional Jeju, bandara terbesar kedua di Korea Selatan dengan baik-baik saja. Kapan lagi punya pengalaman ngemper di bandara orang seperti ini, apalagi kalau di dekatnya ada iklan yang macam di bawah ini…

jeju-4

 

One thought on “Beautiful Disaster, Terdampar di Bandara Jeju

Leave a comment