Cerita si Pengidap Ophidophobia

Siang itu sebuah telepon masuk dari Bapak. Begini kira-kira percakapan kami:
Bapak: “Buruan nonton Animal Planet sekarang juga, ada acara bagaimana orang mengatasi phobia pada binatang.”
Saya: “Wah, lha nanti ada itunya, Pak.”
Bapak: “Nggak, nggak ada. Coba ditonton.”

Saya lantas mengganti channel televisi. Seperti yang disampaikan bapak, acara itu mengupas bagaimana seseorang yang takut pada binatang (tarantula, kupu-kupu, cicak, dan kecoa). Sayang, bapak terlambat mengabari sehingga saya tidak menangkap tips-tips yang diberikan di acara itu. Ya sudah tidak apa, yang penting bapak tidak kenal lelah terus berusaha menghilangkan ketakutan anaknya pada u@ar.

Dari pengantar itu mungkin sudah bisa ditebak. Saya adalah penderita ophidophobia (ofidophobia) atau seseorang yang sangat takut pada u@#r. Untuk mencapai tahap hingga bisa disebut penderita ophidophobia tentu harus melewati beberapa kriteria tertentu. Silakan gugling untuk mengetahui kriteria apa saja yang dimaksud. Yang jelas, kriteria ‘takut dengan #lar bahkan hanya dengan melihat gambarnya (gambar kartun sekalipun)’, tergolong penderita ophidophobia.

Saya memang belum pernah bertemu dokter atau terapis atau siapa pun yang menyatakan saya mengidap ophidophobia. Namun, hanya dengan kriteria yang saya baca lewat gugling bersama teman (saya takut gugling sendiri karena pasti ada pic u#*r nongol), saya sudah menyatakan diri sebagai pengidap ophidophobia.

Anda pernah menonton film Ella Enchanted yang rilis pada 2004? Bagi yang sudah pernah menonton pasti tahu jika di film yang dibintangi Anne Hathaway itu ada sosok u@#r kartun berwarna hijau yang muncul. Sosok u@ar kartun itu sudah cukup membuat saya ketakutan setengah mati untuk tidak melanjutkan menonton film itu.

Mungkin terlihat aneh, tetapi jangankan melihat langsung. Melihat gambarnya saja sudah bisa membuat hati saya mencelos hebat. Bagaimana reaksi saya kalau sampai melihat langsung? Selama ini cukup bisa membuat satu kompleks rumah geger. Saya menangis histeris, dingin sekujur tubuh, keringat mengucur deras, gemetar hebat, dan buntutnya satu; saya harus tahu bahwa @lar yang saya lihat itu harus dibunuh. Catat, dibunuh, dimatikan. Kalau tidak saya tidak akan tenang.

Ketakutan saya terhadap u#@r punya sejarah panjang karena dimulai sejak saya kecil, mungkin saat usia lima-enam tahun. Ketika itu, saya hendak memakai sepatu sebelum berangkat sekolah. Ketika saya berjongkok mengambil sepatu, ada binatang jelek itu di sepatu yang akan saya pakai. Sontak saya berteriak dan menangis. Kaget. Tapi, pengalaman saya dengan u@ar tidak berhenti di situ.

Ketika kami pindah ke rumah baru, saya sering ‘ditemui’ binatang itu. Ditemui karena saya merasa penghuni rumah lain jarang melihat keberadaan *lar di rumah. Entah mengapa terus-terusan saya yang selalu melihat duluan. Saya selalu punya ‘feeling’ jika ada binatang itu di rumah. Yang terparah, pernah dalam remang-remang saya tahu ada u@@r hanya dengan melihat dari sudut mata (karena dia ada di sebelah kanan saya, berbentuk siluet, plus separuh badannya masuk dalam kayu di daun pintu rumah dan separuh lagi di lantai). Parah. Masih merinding saya menulis kembali kejadian itu.

Karena berujung ul@@ itu harus mati, saya jadi terus ditemui si ul@#. Konon kata orang tua sesuai tradisi Jawa, kita tidak boleh membunuh u@#r yang datang ke rumah, tetapi hanya boleh mengusir keluar. Jika dilanggar, sodara-sodara @#ar yang mati itu bakalan datang. Apa seperti itu yang terjadi pada saya? Entahlah.

Kriteria lain yang membuat saya jadi penderita ophidophobia adalah saya tidak hanya merasa takut, tapi sudah dalam tahap benci dan dendam dengan bintang melata yang satu itu. Sepertinya kami sudah bermusuhan sejak zaman sebelum masehi. Ada yang lain lagi. Apabila Anda menyimak tulisan saya ini, Anda pasti bertanya mengapa tulisan @l#r tidak pernah saya tulis secara normal. Alasannya? Saya takut dan malas menulis binatang jelek itu dengan tulisan normal.

Saya akui agak merepotkan juga hidup dengan ketakutan terhadap salah satu binatang seperti ini. Setiap kali saya selalu diliputi perasaan waswas. Contohnya nih, menonton televisi, film, membaca buku, majalah, surat kabar, apapun itu, harus berhati-hati. Siapa tahu ada gambar u#*r. Bagi orang-orang di sekeliling yang sudah mengetahui phobia saya, mereka akan selalu berbaik hati menginfokan kepada saya. “Jangan lihat ke sana, jangan baca halaman sekian, dll.”

Meski begitu saya tidak berniat mengobati phobia ini. Usaha bapak yang tidak kenal lelah berulang kali membujuk pun tidak saya seriusi. Saya sudah terlanjur benci dan dendam, malas untuk rujuk dengan si u#@r. Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya jika saya terus hidup dengan phobia ini? Saya tidak tahu. Hanya si #@ar yang tahu… eh, saya, eh.. Tuhan yang tahu. Sepertinya begitu.

12 thoughts on “Cerita si Pengidap Ophidophobia

Leave a reply to yusmei Cancel reply