Straight Talking

Apakah cinta itu? Gairah, kekaguman, ataukah rasa hormat? Dan mana dari ketiga hal itu yang paling penting? Tema inilah yang mendasari chicklit Straight Talking karya Jane Green. Cover depannya tak menjanjikan, tapi ternyata isinya cukup menarik.

Dibanding karya Jane Green lainnya yang sudah saya baca, Mr Maybe, dari segi cerita Straight Talking lebih asik. Tema globalnya masih tetap sama; pencarian cinta sejati. Maklum namanya juga novel genre chicklit. Temanya kebanyakan melulu soal itu saja.

Sebenarnya chicklit ini agak tidak biasa dalam segi gaya penulisan. Jane Green mungkin mencoba sesuatu yang lain, kali ini dengan mengikutsertakan pembaca dalam kisah chicklitnya. Pembaca diajak berinteraksi dengan karakter utama Straight Talking yaitu Anastasia atau Tasha. Miss Tasha ini kadang menyapa dan melibatkan pembaca dalam dialognya. Di sini jadi agak sedikit membingungkan karena tidak jelas apakah Straight Talking ini dibuat dengan model penulisan ‘diary’ Tasha atau model biasa. Hmm nggak tau juga…

Terlepas dari itu Straight Talking menyajikan unsur cerita yang lebih kuat tak seperti Mr. Maybe yang terkesan dangkal dan mudah ditebak jalinan ceritanya. Straight Talking yang dialihbahasakan menjadi “Apa Adanya Saja” ini menyuguhkan skenario cerita yang apik dengan dialog-dialog cerdas (halah). Tak hanya karakter tokoh utamanya saja yang bikin geregetan, tapi peran para karakter pendukung juga pantas mendapat perhatian.

Tasha, wanita single usia 30 tahunan. Dari segi karier dan finansial tergolong sukses. Hanya, kehidupan asamara Tasha tak seberuntung perjalanan karirnya. Di usianya yang sudah kepala tiga, Tasha mengharapkan komitmen dari para pria yang menjadi kekasihnya. Sayangnya, saat Tasha mulai merasa nyaman bersanding dengan pria-pria pujaan hatinya itu mereka justru kabur lantaran tak mau diikat oleh Tasha.

Kembali ke soal cinta di atas. Mana yang lebih penting di antara gairah, rasa hormat, dan kekaguman? Tasha berusaha mencari tahu jawabannya. Selama ini Tasha menganggap gairah yang menggebu-gebu terhadap lawan jenis merupakan kunci dari suatu hubungan yang sukses. Selama gairah itu masih ada dalam diri masing-masing, hubungan yang terjalin akan bisa terus berjalan.

Namun, benarkan demikian? Nyatanya, hubungan Tasha dengan Simon, Andrew, dan sederet pria-pria lain yang dikencaninya karena dianggap memiliki ketertarikan gairah tak berlangsung mulus. Ternyata gairah saja tak cukup untuk mempertahankan cinta itu. Tasha tahu hal itu, tapi seakan menolaknya dengan masih terus saja beranggapan gairah adalah faktor terpenting.

Straight Talking

Bisa dibilang Tasha adalah pecandu gairah. Jadi, jangan heran jika karakter utama chicklit ini hobinya tidur dengan pria-pria yang dikencaninya demi menuntaskan rasa gairahnya itu apakah bisa menjadi cinta seperti yang diharapkannya.

Lantas bagaimana jika pada akhirnya Tasha justru menjalin hubungan dengan pria yang sanggup memberikan ketenangan, rasa hormat, dan rasa kagum dalam dirinya, tetapi tak mampu memberi gairah seperti yang diinginkannya? Adam, sahabatnya yang mencintainya, sanggup memberikan semua itu termasuk komitmen pada Tasha, kecuali gairah.

Agak terpancing juga saat mengetahui Tasha menyia-yiakan Adam yang begitu baik hati, tapi dilukai hatinya. Namun, seperti ungkapan standar; kau baru menyadari betapa berharganya sesuatu sampai sesuatu itu hilang, Tasha juga demikian. Dia baru menyadari Adamlah yang paling tepat untuknya sekaligus menyadari apa itu cinta sebenarnya.

Bahwa cinta bisa berupa gairah, kekaguman, dan rasa hormat, namun gairah itu sendiri datang dalam bentuk yang berbeda-beda. Gairah tidak harus berupa perasaan berdebar-debar atau perut mulas. Gairah juga bisa berupa perasaan nyaman, aman, dan tenteram. Gairah bisa datang dalam wujud kepercayaan, persahabatan, keakraban. 

Eniwei, chicklit ini akan menjadi bacaan yang tak akan saya lupakan. Bukan karena ceritanya apik atau apa gitu melainkan saat membaca buku ini kosan saya disatroni maling… Hiks. Mungkin saya terlalu konsen ketika membaca sehingga tak mendengar suara mencurigakan di samping kamar? Entahlah. 😦

Pengarang: Jane Green
Judul Indonesia: Apa Adanya Aja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa: Monica Dwi Chresnayani
Halaman: 438 lembar
Cetakan pertama, April 2005

2 thoughts on “Straight Talking

Leave a reply to aning Cancel reply