Duo Edan

Kalimat itu diucapkan kakak-kakak saya, bukan bermaksud kasar atau mengatai. Apalagi dua kata itu ditujukan untuk saya dan bapak! Mereka hanya terkejut setelah mendengar cerita saya dan bapak berada di Pangandaran tanpa memberi kabar terlebih dulu. Yang membuat mereka kaget, adalah kami ke Pangandaran dengan naik motor wkakawkak..

Ya, saya dan bapak menempuh rute sejauh 212,5 km dari rumah ke Pangandaran pada Rabu (19/5). Dengan perjalanan kembali, total jalan yang kami tempuh 425 km. Sebenarnya perjalanan dengan mengendarai sepeda motor  sudah beberapa kali kami lakukan. Hanya saja kali ini yang paling jauh. Nekad? Ngirit? Kurang kerjaan? hehehe whatever deh… Yang jelas, setelah ibuk meninggal, kami sering jalan bareng naik motor.  (mungkin salah satu cara kami mengenangnya). Kadang sudah kami rencanakan tempatnya, namun tak jarang pula ide datang secara tiba-tiba.

Seperti perjalanan kami ke Pangandaran kali ini. Waktu bapak bangun tidur, tiba-tiba melontarkan ide ke pantai selatan di Kabupaten Ciamis itu. (setelah aku translet dalam bahasa indonesia, kira-kira begini dialog yang terjadi:)

Bapak: “Ayo Ning kita ke Pangandaran”

Aku: “Naik apa Pak?”

Bapak: “Motoran aja. Berangkat sekarang, ntar kita nginep semalam disana.”

Aku: “Wah Pak, aku gak punya kamera nih. . (Jawaban gak nyambung)

Setelah terjadi obrolan singkat, akhirnya kami berangkat. Just it. Saat berangkat, jam di rumah menunjukan pukul 13.00an. Kata bapak perjalanan ke sana sekitar lima jam. Kami sampai disana sekitar jam 18.30 setelah melalui jalan yang beraneka ‘rasa’.

Beraneka rasa karena jalan yang kami lewati tidaklah sama kondisinya. Ada yang  mulus, lurus. Tapi ada jalan berkelok-kelok, berlubang-lubang, bergelombang/tidak rata dengan tingkat keparahan tinggi menghadang di depan kami.

Perlu diketahui, kami tidak melalui jalan ‘umum’ untuk mencapai Pangandaran, tetapi melewati jalan yang beken dengan sebutan jalur alternatif.  Kami mengambil rute yang kami sebut jalur ‘pantai selatan’. Rute itu: rumah-Ambal-Pantai Ayah-Adipala-Cilacap-Jeruklegi-Kawunganten-Sidareja-Patimunan-Kalipucang-Pangandaran.

Detailnya:

Rumah-Ambal: perpaduan mulus dan berlubang-lubang skala menengah

Ambal-Pantai Ayah: jalan rata, tetapi karena ‘membelah’ bukit, medan naik turun dengan banyak tikungan tajam.

Adipala-Cilacap: jalan muluss rataa

Cilacap-Jeruklegi: rata..

Jeruklegi-Kawunganten: berlubang-lubang, naik turun melintas hutan kayu (kayu apa ya? Pokoknya bukit dengan banyak pohonlah hehehe)

Kawunganten-Sidareja: skil naik motor dan kekuatan fisik mulai diuji disini..

Sidareja-Patimuan: ‘penyiksaan’ berlangsung sejauh 21 km. Jalan  (lebih pantas bukan disebut jalan, tapi bekas jalan) di rute ini sangatlah menyiksa. Dengan kondisi fisik yang sudah mulai menurun, jadilah ini rute terberat bagi kami.

Patimuan-Kalipucang: idem dengan yang diatas

Kalipucang-Pangandaran: kembali kami menemui hutan dengan jalan naik turun dan berliku.

Setelah sampai di Pangandaran, kami langsung ‘dikawal’ oleh penduduk yang menawarkan penginapan. Karena kami tidak punya rencana dimana akan menginap, akhirnya kami menerima penginapan yang ditawarkan. Ratenya 100rb/malam, fasilitas tv (hampir rusak tapi masih berfungsi), kamar mandi dalam (dengan pintu yang sulit ditutup sempurna), kipas angin, dan dua bed besar. Over all, okelah kamarnya. Toh kami disitu hanya semalam.

Semalaman tak bisa tidur karena tetangga sebelah dan tetangga atas berisik, bapak membangunkanku tepat saat kumandang adzan subuh terdengar, yakni sekitar pukul 04.00. Rencananya kami mau menunggu sunrise di Pantai Timur, Talanca. Saya pikir kami kesana dengan naik motor karena jaraknya lumayan, sekitar 2 km dari penginapan. Kata pemilik penginapan, sunrise terlihat sekitar pukul. 05.30. Aku sempat protes dengan bapak, kenapa tidak berangkat lebih siang. Tapi, bapak bersikeras ingin jalan saat itu. Catat, jalan. Bukan motoran.

Dengan super berat hati, saya bangun. Badan terasa pegal, tapi setuju dengan perkataan bapak, yang mengatakan pumpung kami disini kami harus memanfaatkan waktu yang ada dengan baik. Akhirnya kami pergi. Tapi, waktu keluar dan berjalan menuju TKP, kami sempat clinguk clinguk (kebingungan). Di luar masih sangatlah gelap dan sepiiii tiada orang terlihat… hihihi. Barulah setelah berjalan satu kilometer, kami mulai menemui para nelayan yang hendak melaut.

Sempat tersesat, kami akhirnya sampai ke Talanca. Sunrise tidak terlihat begitu mempesona karena tertutup awan. Kami sempat menikmati dua pisang goreng, satu tempe goreng, segelas kopi sambil menunggu sunrise. Kami pulang menuju penginapan dengan menyusuri pantai yang airnya keruh karena hujan deras turun semalam.

Sampai di penginapan sekitar pukul 07.30. Kami lalu tidur, dan jam 09.15 kami sudah di atas sepeda motor, untuk kembali pulang ke rumah. Hanya itu. Kami tidak melakukan ‘wisata’ sebagaimana perjalanan di objek wisata pada umumnya. Tawaran berperahu mengelilingi kawasan cagar alam dengan spot menggoda, snorkeling di pantai Pasir Putih, aku lewatkan. Begitupula dengan wisata ke Green Canyon.

Saat berhenti untuk makan siang di kawasan Pantai Ayah, Kebumen, saya menelpon kakak-kakak. Menceritakan apa yang baru saja kami lakukan. Komentar mereka macam-macam. Tapi, keduanya sepakat menyimpulkan bahwa kami ini edan! hahahahaha…

*ditulis saat badan terasa seperti dilipat-lipat karena pegaal*

 

Notes:
-Bapak ada acara pada kamis sore. Itulah mengapa kami hanya jadi sekedar ‘nunut pindah tidur’ saja 🙂
-Saat memesan kopi di sebuah warung, bapak mendapat setengah gelas kopi. Kami heran, kenapa tidak satu gelas penuh seperti pada umumnya. Akhirnya bapak minta si penjual buat menambah air panas. Tak lama kemudian, ada pemesan lain. Sepertinya penduduk lokal, juga memesan kopi. Saya melihat dia juga mendapat setengah gelas kopi.. hmm apa memang disana kebiasaannya seperti itu? anyone knows? (belum sempat interview dengan penduduk lokal nih 🙂

 

7 thoughts on “Duo Edan

Leave a reply to aning jati Cancel reply